(Oleh-oleh) Pengalaman Tinggal di Tsukuba, Ibaraki, Jepang

By miyosi ariefiansyah (bunda taka) - September 01, 2021

Sakura di Kenkyugakuen

Untuk kesekian kali, waktu berganti lagi. Yang tersisa di 2021 ini hanyalah beberapa bulan saja. Khusus untuk aku pribadi, itu artinya sudah hampir setengah tahun kami kembali ke tanah air. Ya, akhir Maret kemarin, kami BFG (back for good) karena kuliah suami di Universitas Tsukuba sudah selesai. Meski hanya tinggal setahun lebih tiga bulan di kota yang dikenal dengan julukan Tsukuba The Science City tersebut, namun ada banyak hal yang begitu berkesan yang sangat sayang jika tidak dituliskan. Sewaktu-waktu aku "amnesia" karena usia, setidaknya tulisan-tulisan tersebutlah yang akan mengingatkan. :)

Ehm, tentu saja, semua tempatku merantau selama ini memiliki keistimewaannya masing-masing. Bekasi, Lampung, Balikpapan, dan sekarang Manado, semuanya keren dengan keunikannya sendiri-sendiri. Namun tidak bisa dimungkiri jika di tempat yang benar-benar BERBEDA tidak hanya bermakna konotatif melainkan juga denotatif alias berbeda yang benar-benar BERBEDA 180 derajat, tempat yang bukan di "rumah" alias bukan di negara sendiri, semua yang kita hadapi akan terasa... tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Terlebih, untuk yang baru pertama kali tinggal di luar negeri sepertiku. Pastilah, semuaaa hall, sekecil atau sesepele apa pun itu, semuanya memiliki arti tersendiri.

Tiga tahun sebelumnya, 2018 tepatnya, aku pernah menulis di blog ini tentang seperti apa rasanya tinggal di Negeri Sakura. Kalau teman-teman mengetikkan kata kunci "rasanya tinggal di jepang" atau "bagaimana rasanya tinggal di jepang", di halaman pertama Google, kalian akan menjumpai tulisanku sebagaimana seperti pada gambar di bawah ini.

Katakanlah saat itu aku halu(sinasi) atau nekad, apalagi aku bukan tipe orang yang suka memberitahu ke publik secara gamblang tentang rencana atau keinginanku ke depan. Tapi ternyata Allah memberikan kesempatan itu dua tahun kemudian. Alhamdulillah. Allah Mahabaik. Allah memberikanku kesempatan untuk berkelana di sana dari awal Januari 2020 sampai dengan akhir Maret 2021.
 
Kini, seolah ingin menjawab imajinasiku tentang seperti apa rasanya tinggal di Jepang yang pernah kutulis beberapa waktu yang lalu di blog ini, aku ingin menuliskan lagi seperti apa pengalaman tinggal di Tsukuba, Ibaraki, Jepang. Apakah sesuai dengan ekspektasiku? 
 
Meskipun hanya 15 bulan, tapi ada banyak yang ingin aku ceritakan, ada begitu banyak yang berkesan sebagaimana kutulis di awal paragraf.

Meskipun beberapa sudah sering kubagi di blog ini, namun rasanya belum cukup. Aku masih merasa selalu saja ada bagian yang terlewat.
 
Jujur, sebenarnya, pengalaman-pengalamanku di sana ingin aku bukukan. Aku bahkan sudah menyiapkan beberapa judul. Namun setelah kupikir lagi dengan masak yang salah satu alasannya karena kondisi dunia perbukuan di tanah air saat ini sedang tidak kondusif karena pandemi, maka aku putuskan untuk menuliskannya saja di sini. Toh, berkarya bisa di mana saja dan dalam bentuk apa saja. Alasan lain, biar tidak segera BASI. :D
 
Anggaplah juga tulisan-tulisanku ke depan yang masih berisi tentang pengalamanku tinggal di negeri sakura sebagai pengobat rindu hingga nanti Allah memberikan kesempatan lagi kepada kami untuk "bertemu". Aamiin.
 
Baiklah, aku mulai dengan menuliskan secara singkat, apa saja yang aku pelajari/dapatkan selama satu tahun lebih tiga bulan tinggal di Tsukuba, Ibaraki, Jepang?
 
1. Jalan-jalan ke SEMUA REGION
 
Jepang memiliki 8 region: Hokkaido, Tohoku, Kanto, Kansai, Chubu, Chugoku, Shikoku, dan Kyushu. Alhamdulillah, kami bisa mencicipi semuanya di tengah jadwal kuliah suamiku yang padat dan tugasnya yang seabrek. Sempat khawatir bakal keteteran, namun aku salah. Bersyukur bangettt, suami berada di posisi tiga terbaik saat lulus. Entah, apa ini yang kerap dibilang orang-orang maenn poll belajar poll. Apa pun itu, aku bersyukur. Itu saja.
 

2. Belajar Nihon Go secara langsung
Aku menyusul suami dengan bekal bahasa Jepang seadanya alias hanya tahu yang dasar-dasar aja. Ibaratnya masih kemampuan ala anak TK lah ya. Bersyukur, di sana, aku bisa belajar langsung bahasa Jepang dari Nihon Jin. Ehm, sebenarnya, aku ikut dua kelas, sih: gratis dan berbayar. Dua-duanya keren dan sangat bermanfaat. Kelasnya tentu saja online ya (efek pandemi). Namun tetap saja aku bersyukur karena aku bisa mendapatkan ilmu baru dari tempat asalnya. 
 
3. Mengikuti Organisasi
Entah kenapa, aku seperti tidak pernah lepas dari yang namanya organisasi, lebih-lebih setelah menikah. Tak terkecuali, saat tinggal di Tsukuba. Pertama, organisasi kepenulisan FLP Jepang. Kedua, SIPUT alias Silaturahmi Keputrian yang notabene bagian dari FKMIT (Fokum Keluarga Muslim Indonesia Muslim Tsukuba). Selain dua organisasi tersebut, sebenarnya aku juga ikut FAHIMA JEPANG, cuma kalau ini hanya sebagai anggota saja. 

Mengikuti organisasi (di mana pun itu) membuatku belajar banyak hal baru dari orang-orang keren yang punya segudang ilmu serta pengalaman. Semuanya seru dan menyenangkan. Aku bersyukur pernah mengenal mereka semua, sosok-sosok inspiratif yang begitu humble.

Dari organisasi-organisasi tersebut, inilah beberapa "jejak"nya:

Di SIPUT, aku diamanahi untuk sharing dunia kepenulisan, memberi masukan dari sisi konten untuk tulisan bertema Ramadan di Tsukuba, serta menjadi MC.


Di FLP Jepang, aku diberi amanah untuk menjadi moderator dan sharing dunia kepenulisan.

Kalau teman-teman mencari info tentang FLP Jepang dengan kata kunci "forum lingkar pena jepang", maka di halaman pertama Google bagian atas, kalian akan bertemu dengan tulisanku.


Proyek ini digawangi oleh Mbak Ega. Benar-benar luar biasa emak dua anak inii. Kerennn. Kenangan banget bisa mengerjakan proyek sangkuriang cem gini. Huehehe. Lengkapnya, bisa kalian baca di sini, ya.


Menulis bareng FLP Jepang berupa antologi bertajuk tanah suci. Dijual juga di Gramedia Digital, ya.


 
Dari FLP Bekasi mendapat amanah untuk sharing pengalaman menulis dan tentang Jepang, dari Bunda April (mewakili sinergi literasi FLP) mendapat amanah untuk memberi "sentuhan" terhadap naskah bertajuk kemanusiaan, terakhir sharing tentang buku-bukuku yang pernah kutulis bersama suami.

 
Saat proses kepulangan ke Indonesia, aku dihubungi salah satu media. Lengkapnya, di sini, ya.

4. Menikmati KESENDIRIAN 
Jalan-jalan sendiri, anak dan suami enggak ikut, enggak cuma antarkota tapi juga prefektur. Seruu banget. Enggak cuma saat matahari terpampang nyata di depan mata, tapi juga saat bulan sudah mendominasi sinarnya di bumi. Pergi sendiri tanpa was-was, nikmat Allah manakah yang kamu dustakan?

5. Bersentuhan dengan dunia medis
Taka mendapatkan kesempatan untuk imunisasi sebanyak 3 kali GRATIS dan aku X-Ray 1 kali. Terakhir, tes PCR sebelum kami kembali ke tanah air. Sebenarnya, ada lagi. Saat itu, aku dapat undangan untuk PAP SMEAR dan mammografi. Keduanya GRATIS. Mengingat terakhir melakukan kedua tes tsb 2016 saat aku masih di Balikpapan, awalnya kusempat tertarik. Tapi kemudian karena suatu hal yang tidak bisa disebut di sini, aku mengurungkannya. Padahal berdarsarkan pengalaman teman-teman di Tsukuba, tesnya enak sih. Oh iya, kalau kalian ingin tahu seperti apa proses papsmear di Jepang, cuz ke blognya Mbak Vidya, ya. Insyaallah ada banyak ilmu di sana.

6. Mendapatkan fasilitas meski statusnya cuma gaijin alias orang asing.
Satu kata: TERHARU. Padahal, kami hanyalah orang asing yang hanya tinggal sementara, tapi ternyata diperhatikan sebegitunya. Mulai dari Taka diberikan uang bulanan oleh pemerintah, ikut diberi bantuan Covid saat PM-nya masih Pak Abe, Taka mendapatkan undangan untuk pengecekan anak usia 3 tahun, sampai yang sifatnya tak kasat mata seperti pelayanan yang ramah dan menyenangkan.

7. Mendokumentasikan 101 tulisan tentang Jepang & kehidupan di blog ini dan dua blog lain (bahasa Indonesia dan bahasa Inggris). Sayangnya, aku lupa password dua blog di Wordpress sehingga sampai detik ini belum juga update lagi.

8. Membuat Podcast bertajuk Live on IG
Kalian bisa melihatnya di sini, ya. Temanya beragam. Ada yang membahas dunia menulis, pendidikan, kehidupan di jepang, hingga serunya menjadi ibu.

9. Membuat Podcast random di sini
Kalian yang sempat mampir mungkin akan mengetahui sisi lainku. 

Kalau ada yang bilang produktif, ya alhamdulillah banget. Tapi menurutku, di usiaku yang sekarang, dengan pengalaman yang tentunya lebih beragam dibandingkan aku berapa belas tahun yang lalu, yang namanya PRODUKTIF itu mah sangat relatif. Tidak harus juga sesuatu yang bisa dipublikasikan karena memang tidak semua hal bisa dibegitukan. Seorang ibu yang benar-benar total mengurus anak-anak, fokus ke situ, menurutku itu sangat produktif dan keren. Seorang jomlo yang fokus jadi sukarelawan hingga dia tidak sempat membuka media sosial (dunia tidak tahu apa yang ia perbuat, hanya orang-orang tertentu saja yang berhubungan langsung), menurutku itu juga sangat produktif dan mulia. Jadi, masalah produktif mah memang bervariasi, ya. Tidak harus juga berkaitan dengan kegiatan yang menghasilkan uang karena kalau semua selalu dinilai dengan uang mungkin tidak ada yang namanya sukarelawan yang notabene benar-benar sukarela. Padahal, seperti yang kukatakan sebelumnya, perbuatan mereka jelas bisa dibilang produktif. Yang penting sih kita menikmati apa yang sedang kita lakukan. Insyaallah, semuanya terasa indah dan menyenangkan. Aamiin.

Eh, ini malah jadi ceramah, sih. Maafkeun. Wkkk.
 
Aku bersyukur sama Allah selalu dipertemukan dengan orang-orang hebat dan rendah hati di setiap aku merantau, tidak terkecuali di Jepang. Dari mereka, aku belajar. Dari mereka, aku berkaca. Dari mereka, aku bermuhasabah. Insyaallah oleh-oleh pengalaman tinggal di Tsukuba Ibaraki Jepang ini akan sangat bermanfaat buatku dan keluarga. Semoga kelak bisa kembali lagi meski mungkin di kota atau prefektur atau region yang berbeda. Aamiin.
 
Semangat untuk kita semua, ya. Semoga Allah senantiasa menjaga kita semua.
 



 
 


 


  • Share:

You Might Also Like

4 comments

Makasih udah ninggalin jejak yang baik ya, Teman-teman! :)