Lakukan Ini Ketika Kamu Merasa Tidak Ada yang Mencintai
Seorang filsuf pernah berkata bahwa mencintai membuat kita berani sedangkan dicintai membuat kita kuat. Bagaimanapun, manusia adalah makhluk sosial. Sekuat-kuatnya dia bisa hidup sendiri, ada kalanya butuh interaksi dan bantuan orang lain juga. Tak terkecuali, untuk sekadar mengingatkan bahwa dirinya berharga.
Di balik orang hebat pasti ada support system yang kuat! Setuju?
American Psychological Association sebagaimana dilansir oleh laman gramedia.com menyebutkan dalam penelitiannya bahwa ada hubungan yang kuat antara dukungan sosial dengan kesehatan mental dan kesejahteraan masyarakat. Selaras dengan hal tersebut, halodoc.com melalui situsnya juga menyebutkan bahwa setidaknya ada 4 manfaat memiliki support system yang baik: memiliki dukungan sosial, membantu mengatasi stres, memberikan motivasi, dan meningkatkan rasa kepercayaan diri.
Pertanyaan selanjutnya: bagaimana jika kamu tidak memiliki support system?
Banyak sih orang-orang di sekitarmu, tapi kamu merasa tak terkoneksi sama sekali dengan mereka. Atau, bisa juga kamu merasa mereka membawa dampak buruk untukmu. Bergaul dengan mereka bukannya meningkatkan kepercayaan diri, tapi malah sebaliknya. Kamu juga lelah jika terus-terusan berpura-pura nyambung atau meng-iya-kan hanya untuk diterima. Kamu lelah jadi people pleaser. It drains your energy, right?
Hingga kemudian, batinmu, hati kecilmu berkata, "Kayaknya emang enggak ada yang mencintaiku". Selama ini, kamu pura-pura kuat agar enggak dibilang baper. Pura-pura tertawa padahal terluka. Pura-pura baik-baik saja padahal tersinggung luar biasa. Intinya, tak ada satu pun manusia yang benar-benar tahu yang kamu rasakan selain dirimu sendiri. Kamu tak akan membiarkan celah itu terlihat. Kamu begitu pandai menutupi hingga yang lain tak tahu bahwa kamu sedang tidak baik-baik saja.
Kalau perasaan-perasaan di atas muncul, coba deh kita pikirkan beberapa hal di bawah ini.
(Disclaimer: sejujurnya, yang
tertulis di sini BUKANLAH resep mutlak. Tidak ada kapasitas juga untuk
melakukan hal tsb karena bukan ahlinya. Boleh dibilang, ini hanyalah
sekadar sharing biasa untuk kita renungkan bersama.)
1. Serius, Enggak Ada yang Peduli?
Coba cek sekali lagi. Di antara semua orang yang kamu kenal, sebanyak itu, pasti ada benar-benar sefrekuensi denganmu, at least SATU saja. Toh, bukan masalah jumlahnya, tapi kualitasnya. Pasti ada, kan.
2. Ingat Kisah Nabi Nuh
Tentu, kamu sudah sangat familiar dengan kisah Nabi Nuh As. Beliau sudah berdakwah ratusan tahun, tapi pengikutnya tidak sampai 100, hanya belasan saja. Support system terdekatnya pun malah melawan. Butuh kekuatan mental luar biasa pastinya. Kamu, kita, sudah pasti tak mampu. Karena itu, Nabi adalah orang-orang pilihan. Kita seyogyanya tidak hanya menghafalnya saja, tetapi juga menghayati dan meneladaninya.
3. Kamu Tak Sendiri
Sejatinya, bukan kamu sendiri yang merasa demikian. Banyak temannya kok. Hanya saja, mereka pandai menutupi sebagaimana dirimu, bukan. Setiap orang pada dasarnya sedang berjuang setiap hari dengan tantangan yang berbeda-beda.
4. Jalan-jalan Menikmati Keindahan Alam
Jalan-jalan tak hanya untuk sekadar kebutuhan konten atau postingan, bukann. Ada yang jauh lebih penting daripada itu, yakni sebagai bentuk rasa syukur kita kepada Allah, Sang Pencipta. Hirup udara segar, rasakan bedanya. Terkoneksilah dengan mahluk Allah lainnya seperti hewan dan tumbuhan. Percaya, mereka pun sedang berjuang dengan cara mereka sendiri.
Selanjutnya, ada di buku "Catatan Hidup dari Orang Biasa" yang bisa didapat di beberapa marketplace seperti Tokopedia dan Shopee atau versi ebook-nya di GooglePlay.
Sungguh, hidup terlalu singkat jika hanya untuk memikirkan hal-hal yang berada di luar kuasa kita. Semangat, ya!
Di mana pagi pertamamu? Kalau pagi pertamaku di salah satu daerah pegunungan, Tomohon. Tadinya, aku enggak berencana untuk ke mana-mana. Ehh, tapi ternyata suamiku udah pesan tiket penginapan, sebuah resort yang bertagline back to nature yang kata Taka seperti di hutan. Xixixi.
Seperti tahun sebelumnya, tahun ini pun aku ketiban rezeki ngerjain proyek menulis dengan fee yang sangat manusiawi (penting banget) di saat liburan. Itu sebabnya, laptop membersamaiku sampai sini. Ee... tapi aku senang banget bisa kerja sembari liburan, ditemani anak dan suami pula.
Berhubung kami di pegunungan, maka suara kembang api pergantian tahun pun tak terdengar. Benar-benar sesuai tagline banget disuruh kembali ke alam. Cocok untuk siapa aja yang ingin mengisi tahun barunya dengan merenung.
Sisanya, akan kubagi melalui foto-foto aja, ya (seperti biasa).
Judul Buku: Loneliness is My Best Friend
Penulis: Alvi Syahrin
Penerbit: Alvi Ardhi Publishing
Tahun Terbit: 2022
Halaman: 306
Penulis Resensi: Miyosi Margi Utami
“Kalau
teman selalu datang dan pergi, lantas apa gunanya pertemanan? Mungkin, poin
utama pertemanan bukanlah tentang mencari siapa yang menjadi sahabat sampai
nanti. Mungkin, poin utama pertemanan adalah sesederhana meninggalkan bekas
kebaikan di dalam hidup seseorang. Sehingga ketika hidup seseorang terasa berat,
lalu ia mengilas balik, ia selalu ingat ia pernah dipedulikan oleh orang
sepertimu meski sekarang sudah tidak akrab lagi. They were once loved. You were
once loved.” - halaman 115
Kesendirian tak harus identik dengan
kesepian yang mengundang kasihan. Melalui buku ini, Alvi Syahrin memberikan
sudut pandang yang berbeda. Sejatinya, semua manusia “bersahabat” atau sudah
biasa dengan istilah tersebut. Bukankah kita lahir sendiri mati pun sendiri?
Namun pada kenyataannya, kesendirian seolah menjadi kutukan, sesuatu yang
ditakuti.
Setidaknya, di tanah air memang demikian, bukan? Masyarakat kerap melihat orang yang ke mana-mana sendiri dengan pandangan kasihan. Padahal, boleh jadi yang menjalaninya baik-baik saja. Kesendirian juga kadang dicap negatif: tak bisa bergaul, misalnya. Sehingga, orang-orang seolah ter-framing untuk melakukan hal ini: ingin selalu terlihat berkelompok meskipun fake (baik di depan, ngomongin di belakang) karena hal tersebut masih lebih menyenangkan (meskipun sebenarnya tidak nyaman karena rentan penuh drama) ketimbang selalu terlihat sendiri (karena dianggap tidak normal). Sesuatu yang sangat kontras dengan Negeri Sakura. At least, berdasarkan pengalaman pribadi selama tinggal di sana.
Jika ada yang menyangka kalau buku
setebal 306 halaman yang terdiri dari 45 bab ini berisi tentang keluhan, maka
ia salah besar. Di bab-bab awal hingga pertengahan, penulis menjelaskan bahwa
sejatinya semua orang pernah merasa SENDIRIAN seterbuka apa pun karakternya dan
sebanyak apa pun temannya. Tak jarang, apa yang diterima tak sesuai dengan yang
diberikan. Sering, kita merasa menyayangi sendirian, terlebih ketika orang yang
kita sayang (entah keluarga, pasangan, teman, ataupun sahabat) tidak memberikan
feed back yang sama. Kita juga kerap
merasa “dikhianati” kala mereka membuat grup sendiri di belakang tanpa ada
kita. Ragam “penolakan” secara tidak langsung yang sering terjadi tersebut tak
jarang membuat kita merasa tak berarti. “Mereka kok mudah banget ya menjalin
hubungan, sementara aku kok serasa sebatang kara di dunia, padahal aku sudah
melakukan yang terbaik, mereka kok gak bisa sehangat itu ke aku, apa aku ini
dianggap ada” seperti itulah luka yang terpendam akibat pengabaian jika
divisualisasikan.
Menuju bab terakhir, penulis mengajak
pembaca untuk menerima kenyataan dengan menganggap kesendirian bukan sebagai
lawan melainkan teman.
Aku
bukan korban kesepian. Aku adalah pahlawan yang akan menakhlukkan kesepian. (Halaman
248)
Ada banyak cara yang bisa dilakukan
manusia untuk menghalau rasa sepi sebagaimana ditulis oleh Alvi dalam bukunya.
Memperbaiki mindset bahwa kesendirian
adalah hal yang wajar dan melakukan hal-hal nyata yang bermanfaat (jangan hanya
scrolling media sosial yang hanya
membuat overthinking) adalah dua di
antaranya.
Buku yang merupakan seri kedua self healing ini bukanlah buku untuk
mereka yang sedang galau saja, melainkan siapa pun yang ingin memaknai hidup
secara lebih mendalam. Bahwa kelak, cepat atau lambat, semua akan sadar bahwa
orang yang akan selalu menjadi sahabat sejati hanyalah diri sendiri. Jadi,
jangan terlalu bergantung perasaan pada orang lain jika tidak mau dikecewakan.
Dalam konteks lebih agamis, yang kelak menjadi teman sejati manusia adalah amal
ibadahnya. That’s why, ketika manusia
berbuat baik sesungguhnya ia berbuat baik untuk dirinya sendiri, pun
sebaliknya. Jangan pernah merasa rugi jika tak pernah kebaikanmu tak pernah
berbalas. Positive thinking saja.
Mungkin, karena saking berharganya apa yang kamu lakukan, sehingga yang akan
membalas bukanlah manusia, melainkan langsung Sang Pencipta.
Pesan Bapakku dalam Menghadapi Orang yang Suka Cari Muka
Almarhum bapakku pernah berpesan bahwa tak perlu menginjak orang lain untuk terlihat lebih tinggi. Tak perlu "jual omongan" menjelekkan sana-sini hanya untuk diterima dalam pergaulan. Sungguh, hari akhir itu nyata. Kita semua akan mempertanggungjawabkannya. Sangatlah rugi jika semua amalan baik hangus hanya karena masalah receh.
Bapak pula yang kerap mengingatkan bahwa tak perlu menimpakan kesalahan ke orang lain agar diri terlihat bersih. Akui saja kemudian minta maaf. Bukankah semua manusia tak luput dari salah?
Beliau pula yang selalu bilang jangan curhat ke sembarang orang, apalagi jika dia suka menjelekkan orang lain di depanmu. Jika seperti itu, kemungkinan kamu juga pernah dijelekkan di depan orang lain.
Saat kami ngobrol malam, beliau juga kerap menyelipkan pesan-pesannya agar tak menjadi orang bermuka dua. Na'udzubillah. A menjelekkan B kemudian saat bertemu B, A luar biasa baik seolah tak pernah mengatakan apa-apa. Jika kamu melihat kejadian tersebut dengan mata kepalamu sendiri, cukuplah berhenti di kamu saja. Janganlah bilang ke B bahwa A yang terlihat baik sebenarnya suka menjelakkannya. Semua itu tak akan ada gunanya. Cukup berhenti di dirimu. Cukup kamu jadikan pembelajaran untuk berhati-hati.
Bapak menulis di buku beliau yang aku share fotonya di IG bahwa sejatinya semua akan ada akhirnya. Dan akhir dari kehidupan adalah kematian. Semoga kita selalu menjadi hamba Allah yang mau memperbaiki diri. Aamiin.
Beralih Menerbitkan Buku dalam Bentuk Digital adalah Caraku sebagai Penulis untuk Menjaga Bumi
Menikmati buku fisik memang lebih terasa vibes-nya. Namun, perasaan bersalah kerap hadir ketika ingat kalau hal tersebut membutuhkan pengorbanan luar biasa. Buatku, jika ternyata ada substitusinya, kenapa tidak dicoba saja?
Tak bisa dimungkiri jika buku fisik memiliki daya pikat tersendiri. Aroma kertasnya yang khas, sentuhan personal, serta mampu membantu pembaca untuk bisa fokus (tak mudah terdistraksi) adalah beberapa di antaranya. Dari sisi penulis, buku fisik adalah bukti autentik bahwa dirinya berkarya. Konon, ada sebuah kelakar, seseorang belum resmi disebut penulis jika dia belum bisa menerbitkan buku secara fisik.
Aku jadi teringat bagaimana euforia saat pertama kali melihat namaku terpampang di toko buku belasan tahun yang lalu. Mimpi itu akhirnya jadi kenyataan. Begitulah kataku saat itu. Tidak puas dengan debut pertama berupa antologi, aku mencoba merambah ke karya duo dan solo. Aku semakin rajin menulis dan mengirimkannya ke penerbit. Tak selalu berhasil memang. Tak sedikit juga penolakan dari mereka. Namun, tak bisa disangkal juga bahwa keaktifanku membuka banyak peluang mulai dari tawaran untuk menulis buku pengayaan untuk siswa SD dan SMP, dipercaya untuk membuat buku kumpulan soal bersama tim, sempat “mencicipi” peran sebagai co-writer & ghost writer, dan masih banyak lagi.
Ada kebahagiaan batin yang tak bisa kujelaskan ketika melihat namaku ada di rak “khusus” toko buku entah itu rak buku rekomendasi, buku laris, atau referensi. Apalagi, saat mendapat feedback positif dari pembaca. Aku jadi merasa bersyukur dan terharu karena bisa bermanfaat untuk sekitar melalui buku-buku yang kutulis.
Beberapa bukuku yang masuk rak “khusus”, dokpri.
“Titik balik”, jika boleh kukatakan demikian, terjadi saat aku hamil 2016 silam. Aku harus “auto” beradaptasi dengan kondisi. Terlebih, kami baru diberi momongan setelah hampir 10 tahun menikah. Aku yang tadinya sangat aktif mengikuti beragam proyek menulis (dengan deadline super ketat) memilih untuk menjadi kontributor lepas majalah digital yang sifatnya lebih bebas dan tak terlalu membebani pikiran.
Konon, ibu hamil itu sangat sensitif. Pun aku. Memikirkan hal yang sebelumnya hanya menjadi wacana atau lewat sekelebatan saja adalah bukti konkretnya. Tak sekali dua kali aku bertanya pada diri sendiri saat membuat tulisan untuk majalah digital, “Bagaimana ya nasib buku-buku yang tidak laku selain diobral atau disumbangkan?” Dengan kebiasaan membaca masyarakat Indonesia yang masih tergolong rendah menurut PISA, apa kita yakin bahwa semua buku yang sudah terbit mampu terserap dengan sempurna di pasaran? Sedangkan saat aku mengirim buku ke penerbit saja mereka kerap bertanya seperti apa peluang pasar buku yang sedang kutawarkan. Maksudnya, adakah peluang untuk diminati dan dikerubuti pembaca? Artinya, jangan sampai menerbitkan buku yang hanya berakhir sia-sia, bukan.
Sementara itu, kita semua pasti sadar jika bahan baku buku adalah kayu yang notabene jumlahnya terus menipis sebagaimana dilaporkan situs BPS. Untuk menghasilkan kertas, tak sembarangan pohon bisa digunakan. Ia harus berusia minimal 5 tahun. Mengutip dari situs dpmg.bandaacehkota.go.id, 1 batang pohon kayu normalnya bisa menghasilkan 16 rim kertas. Di saat yang sama, 1 batang pohon menghasilkan oksigen yang cukup untuk 3 orang. Dengan kata lain, ada tiga kehidupan yang harus “dikorbankan” untuk memproduksi 16 rim kertas. Bila pun ada program penggalakkan sejuta pohon, semua terasa tak berarti jika tak didukung dengan penggunaan kayu secara tepat dan bijak. Apalagi, butuh waktu yang tidak sebentar untuk tumbuh menjadi pohon yang kokoh, bukan. Tak bisa sim salabim abracadabra. Menanam hari ini, besok langsung membesar siap digunakan. Tidak seperti itu pastinya.
Masih dari sumber yang sama, fakta lain yang cukup mencengangkan adalah 1 ton kertas yang diproduksi setara dengan emisi gas buang mobil selama 6 bulan atau sebanyak 2,6 ton karbondioksida. Lebih parahnya lagi, jika kertas tersebut kemudian membusuk atau menjadi kompos, maka ia bisa menghasilkan gas metana yang notabene lebih berbahaya daripada karbondioksida. Tentu hal ini tak bisa dianggap sepele. Alih-alih ingin bermanfaat dengan menulis buku (fisik), yang ada malah sebaliknya. Inilah yang ada dalam pikiranku saat ini.
Lalu, langkah nyata apa yang bisa kulakukan sebagai penulis untuk “menyelamatkan” bumi? Beralih ke media dan buku digital adalah jawabannya! Meskipun kadang-kadang aku masih membeli dan menerbitkan buku fisik, namun intensitasnya sudah tak lagi seperti dulu.
Tak hanya berlaku untuk diri sendiri, aku pun mulai “mengkampanyekan” manfaat buku digital di situs pribadiku. Berharap, orang-orang sekitarku bisa terpengaruh.
Ulasan di blog-ku tentang salah satu platform digital dan manfaat buku digital yang alhamdulillah mendapatkan respon positif dari pembaca.
Beberapa karyaku dalam bentuk digital, dokpri.
Katanya, banyak jalan menuju Roma. Banyak cara merawat bumi sebagai tempat tinggal kita. Beralih menerbitkan buku dalam bentuk digital (e-book) adalah salah satunya.
Manusia kadang menjadi makhluk yang paling tidak tahu diri. Betapa tidak. Harusnya bersyukur diberi kesempatan, tapi seringnya malah minta nambah. Ketika "bonus" tsb tak terealisasi, jiwanya langsung rapuh. Kalau ujung-ujungnya malah "tantrum" dan "rewel", harusnya sejak awal tak mendapatkan kemudahan, kan?
Ini tak sedang ngomongin atau ghibah-in orang lain. Siapa kita berhak ngejembrengin dosa. Tak lain tak bukan, statement di atas adalah untuk "menampar" diri sendiri. Bila pun banyak yang tersindir, alhamdulillah deh ada temannya. 😛 Mari kita sama-sama legowo mengakuinya. 🤣
Ceritanya, sore ini, aku melakukan perjalanan darat Malang - Jakarta. Aku dan Taka sedang di kereta saat postingan ini dibuat.
Seolah sudah SOP, setiap kali bisa pulang kampung, aku hampir hampir selalu meloww saat harus kembali merantau. Pikiranku ke mana-mana: mulai dari ibuku yang semakin tua, keluarga cemara yang menerimaku apa adanya tanpa syarat ina inu, hingga lingkungan sekitar tempat tumbuh & berkembang yang mengingatkanku akan banyak hal.
Padahal, kalau dilihat dari sisi lainnya, harusnya aku bersyukur. Tahun ini, aku bisa poelkam 4 kali (dari normalnya setahun sekali). Kalau dilihat dari rekam jejak, harusnya aku juga sudah cukup terlatih. Meski bukan sejak kecil seperti anakku, tapi berkelana sejak 2009 menurutku udah lumayan banget. 😛🤣 Ehh, lahh, tapi kok ya tetap sajaa perasaan campur aduk yang tak bisa kudeskripsikan itu melanda.
Apakah di tanah rantau, aku enggak betah? Enggak juga. Bahkan kalau ditarik benang merah, alhamdulillah sampai detik ini, Allah selalu mempertemukanku dengan orang-orang baik. Nikmat Allah mana yang kamu dustakan? (Aku yakin ini semua karena doa ibuku & mama mertua). It means, sejauh ini, aku selalu menikmati di mana pun itu.
Lantas, apa masalahnya?
Ternyataa, jaauhhh di lubuk hati terdalamm, aku menginginkan untuk selalu dekat secara fisik enggak cuma dengan anak dan suami, tetapi juga orang tua dan saudara. Hanya saja, aku kerap gengsi mengakui. Jauh di lubuk hati atau alam bawah sadar, aku juga punya keyakinan tak tergoyahkan bahwa yang kusebut di atas adalah orang-orang yang menerimaku apa adanya, bahkan saat aku berada di titik terendah. Tentu saja hal ini tak bermaksud mencurigai orang-orang yang aku temui di kampung atau negeri orang. Enggak sama sekali. Sebagaimana yang aku jelaskan di atas, Allah tuh Maha Baik karena selalu mempertemukan aku dengan orang-orang keren di mana pun itu.
Menurutku, dua hal yang aku sebut di atas tsb memiliki konteks yang berbeda. Boleh jadi karena aku introver sehingga tak mudah all-out dengan orang lain alias selalu memiliki batas. Oh kamu hanya boleh sampai ruang tamu, bukan kamar pribadi. Seperti itulah perumpamaannya kira-kira. Dan aku hanya bisa all-out tanpa batas kepada orang-orang yang aku sebut di atas. Boleh jadi juga, ada peristiwa traumatis di masa lalu yang tak bisa kujelaskan secara gamblang yang membuatku jadi menetapkan "batas wilayah".
Then, ketika kemudian aku jauh dari mereka, pikiranku mengingatkan secara otomatis, "Gak bisa lagi kamu ekspresif. Ingat, ya!"
Bersama mereka, tak ada kata waspada. Dengan mereka, tak ada istilah membangun "tembok" karena khawatir dikhianati.
Tapi, begitulah dunia. Isinya memang keterbatasan, termasuk keterbatasan waktu. Sebagaimana kata-kata klise yang kerap diucapkan orang-orang, "Ada pertemuan, ada perpisahan,"
Semangat!! Aku siap berjuang kembali di perantauan.
Jangan bersedih, Allah selalu bersamamu.
(Dalam perjalanan ke Jakarta menyusul suami yang sedang pendidikan untuk kemudian kembali ke Manado hari berikutnya).
5 Olahraga Termahal di Dunia, Dukung Hobi Ala Sultan Ini dengan KTA
![]() |
Sumber gambar: pexels.com |
![]() |
Sumber foto: pexels.com |