Berartinya Pulang Kampung bagi Saya Sekarang

By miyosi ariefiansyah (bunda taka) - May 18, 2019

Ini adalah tulisan saya 8 tahun yang lalu. Tulisan ini dulu saya ikutkan lomba ngablogburit. Alhamdulillah, menang.
Saya ingat, dulu hadiahnya Rp500.000,00. Dokpri

Hayoo, siapa yang dulu rajin ikut lomba ngablogburit dari blogdetik saat Ramadan? Kalau iyaa, samaa dong.

Tulisan ini saya buat saat masih baru 2 tahuh merantau. Menurut saya masih relevan kok dibaca sekarang. Poinnya masih sama: merantau membuat kampung halaman menjadi sangat berarti. Enggak heran, momen pulang kampung menjadi sangat spesial. Semakin jauh merantau, semakin kuat rindunya pada tanah kelahiran, dan tentunya juga... semakin mahal tiketnya. Xixixi.

Okaihh, baiklahh, ini tulisan saya (enggak saya edit):

**

Salah satu alasan yang membuat saya bertekad ingin hidup di negeri orang adalah karena ingin menikmati suasana pulang kampung. ^__*

Alasan yang tidak penting barang kali bagi beberapa orang, he he. Tapi bagi saya cukup penting. Alasan tersebut sama halnya dengan alasan untuk mendapatkan penghasilan yang lebih besar dan ilmu yang lebih banyak. Yups, saya yakin, di tanah rantau saya akan mendapatkan semua itu. Insya Allah.

Dan ternyata hal itu memang saya buktikan.

Selama kurang lebih 20 tahun, saya tidak pernah merasakan yang namanya mudik. Saya tak tahu bagaimana rasanya merindukan kampung halaman karena setiap hari saya bisa menikmati kampung halaman saya. Saya juga tidak perlu pusing-pusing memikirkan mahalnya tiket mudik dan menyiasati dengan membelinya beberapa bulan sebelum mudik. Saya tidak perlu berharap waktu akan segera berlalu agar bisa segera mudik. Saya juga tak perlu menetapkan target ini itu agar saya bisa mudik dengan tenang.

Itu dulu.

Datar-datar saja bukan?

Ya, meski saya bahagia karena setiap hari bisa bertemu keluarga, tapi sisi hati saya yang lain berkata bahwa hidup saya datar-datar saja. Tidak ada “loncatan” seperti kembang api. Tak ada teriakan seperti ketika saya menaiki halilintar atau colombus. Bertemu keluarga? Memakan masakan ibu? Merasakan sejuknya hawa di kampung halaman saya? adalah hal yang sangat sangat biasa.

Lagi-lagi itu dulu.

Sekarang?

Semuanya berbeda.

Sejak saya menikah, otomatis saya harus mengikuti suami ke “negeri orang”, sesuai cita-cita saya dulu yang memang ingin merantau. Dan benar ternyata, indahnya pagi hari baru akan kita rasakan ketika kita merasakan kelamnya malam hari. Begitu pula dengan tenangnya malam hari baru bisa kita rasakan saat kita merasakan bisingnya siang hari.

Dan itulah yang saya rasakan.

Di perantauan ini saya memang mendapatkan apa yang saya inginkan, yaitu TANTANGAN!

Ya, saya memang mencintai tantangan, karena di sanalah saya merasa hidup. Seseorang baru bisa merasakan indahnya kemenangan setelah berpanjang-panjang dan berlelah-lelah dengan perjuangan bukan?

Saya merasakan bagaimana mengatur keuangan rumah tangga, bekerja sama dengan suami, semuanya sendiri, jauh dari sanak famili, menyicil cicilan rumah yang bunganya lumayan tinggi, mengejar deadline menulis, berbagi peran dengan suami, mengejar mimpi, bekerja sama, dan hal-hal lainnya. Tentu, saya sangat bersyukur, karena saya merasa hidup. Saya merasa menjadi orang yang dinamis. Saya berguna. Saya berkontribusi.

Namun, lagi-lagi, sisi hati kecil saya berkata, SAYA MERINDUKAN KAMPUNG HALAMAN. Selalu. Setiap saat. Sekalipun di tanah rantau saya sangat bahagia dengan berbagai macam tantangan. Sekalipun di sini saya banyak memiliki teman, sahabat, dan saudara. Tapi saya tetap merasakan rindu yang teramat dalam pada kampung halaman. Atau barangkali lebih tepatnya saya BARU merasakan rindu dengan KAMPUNG HALAMAN dengan kata-kata “mudik” dan dengan segala macam kesederhanaan yang ada di tanah kelahiran saya, setelah saya berada di negeri orang.

Inilah yang saya inginkan.

Sensasi.

Hidup tanpa sensasi ibarat masakan yang tidak berbumbu. Hambar.

Apa yang kita rasakan saat kita bisa terbebas dari kejaran anjing? Bahagia bukan?

Itulah yang saya rasakan.

Akhirnya, saya bisa mengenal kata-kata “rindu pulang, rindu mudik, dan rindu kampung halaman” seperti yang selama ini saya inginkan.

Ya, saya menikmati menjadi orang perantauan.

Tetapi saya juga merindukan pulang dan kesederhanaan kampung halaman.

Saya mengejar mimpi di negeri orang.

Tetapi saya juga ingin berbagi dengan orang-orang yang saya cintai di tempat kelahiran.

Ibarat seorang manusia yang merindukan indahnya surga.

Seperti seorang hamba yang merindukan kampung akhirat.

Itulah saya yang sekarang sedang merindukan tanah kelahiran.

**

Tulisan saya 8 tahun silam seolah menyeret saya ke masa-masa itu. Sekarang, kondisinya sudah berbeda. Kami sudah enggak di tempat perantauan pertama. Kami sudah bukan pengantin baru. Pengantin bulukan yang iya. Xixixi. Kami sudah tidak lagi membayar cicilan rumah. ALHAMDULILLAH, LEGA RASANYA. Saya sudah lebih banyak mengurusi keluarga aja. Bila pun menulis, porsinya enggak lagi sebanyak dulu. Kami sudah memiliki Taka. Dan, kami siapp ke tempat asing berikutnyaa yang lebihh jaauuuhh daripada sebelumnya dan yang tantangannya pasti berbeda. Insya Allah, SIAP & SEMANGAT. Bismillah.


#30HariMemetikHikmah
#TantanganMenulisIPMalang
#RumbelMenulisIPMalang
#IbuProfesionalMalang
#HariKe-13

  • Share:

You Might Also Like

1 comments

  1. masya alloh jadi inspirasi nih,
    dan sayapun dlu seperti itu ingin selalu merasakan pulang kampung hehe.. soalnya tak ada yang merantau siih.. dan ketika saya menikah dengan istri saya, saya memutuskan merantau dan ememang pekerjaan saya yang menuntut untuk merantau .. nah dari itu selalu rindu kampung halaman dengn berbagai kenangan wkwk

    ReplyDelete

Makasih udah ninggalin jejak yang baik ya, Teman-teman! :)