Teman Makan Teman

By miyosi ariefiansyah (bunda taka) - January 29, 2019


“Kenapa Ayah tega melakukan ini ?”

Ingin rasanya aku bilang seperti itu kepada orang yang telah menghancurkan hatiku. Namun, mulutku terasa kaku dan tak ada satu kalimat pun yang akhirnya bisa keluar dari mulutku ini.

“ Tak cukupkan pengorbanan Bunda selama ini, Yah?”

Lagi-lagi kalimat itu tercekat dalam tenggorokan dan tak bisa dikeluarkan.

Lelah, hati dan perasaanku memahami sikap seorang laki-laki yang sudah 10 tahun bersamaku itu.

Ternoda.

Cinta itu telah ternoda

***

“Jadi, Ayah menikah lagi?” begitu tanyaku kepada laki-laki yang kupanggil ‘Ayah’, seorang laki-laki yang sangat aku cintai dunia akhirat itu.

Kucoba tuk menutupi perasaan sakitku dengan tetap tenang. Bagaimana juga, aku tidak boleh menunjukkan bahwa aku sedang “sakit”.

“Iya, Bunda,” begitu jawab laki-laki itu dengan tenangnya, setenang saat mengucapkan bahwa uang belanja yang ia bisa berikan kepadaku hanya sekadarnya. Setenang saat berkata bahwa dia menikah denganku dengan tidak membawa apa-apa selain cinta. Setenang itu.

“Kenapa Bunda tidak diberi tahu, Yah?” begitu tanyaku masih dengan sikap tenang walau menyimpan sejuta kemarahan yang tak tertahankan.

“Ayah ingin memberi tahu Bunda, hanya saja belum sempat Bun, tahu sendiri kan jadwal kerja Ayah sangat padat, apalagi di akhir tahun seperti ini,” jawabnya menerangkan, masih dengan sikap dinginnya, santai seolah tidak terjadi apa-apa.

Sambil membuatkan teh hangat kesukaan Ayah, aku bertanya dengan sikap yang masih nampak tenang,

“Sejak kapan Yah jadinya Bunda punya teman baru?”

Laki-laki yang aku ajak bicara itupun hanya diam membisu dan tetap tenang seolah dengan apa yang sudah dilakukannya padaku tidak akan menyakitiku mengingat selama sepuluh tahun menjadi istrinya, aku adalah tipe istri yang penurut dan patuh, tak pernah protes.

“Sebulan yang lalu, Bun,” begitu jawabnya singkat sambil menyeruput teh buatanku itu.

Dheg… seperti ada tusukan halus yang mengenai jantungku. Menyayat-nyayat. Dan, darah itu kini sedang mengalir deras tak bisa dihentikan.

Masih tak bisa aku percaya rasanya. Namun, ini adalah kenyataan yang harus aku terima. Beginilah adanya. Suka tidak suka mau tidak mau aku harus bisa menerimanya

“Ayah pergi dulu ya Bun, Adek sudah menunggu, kasihan dia. Insya Allah besok Ayah pulang. Bunda hati-hati ya di rumah. Jaga anak-anak,” ucap Ayah kepadaku dengan sikap datar dan biasa saja.

Dia meninggalkan aku seolah tidak ada apa-apa. Hanya salam dan kecupan kening seperti yang biasa dia lakukan kepadaku sebelum ia berangkat.

Ya Allah.

***

“Bunda sekarang kok kelihatan ndut ya?” kritik suamiku yang terdengar pedas di telingaku.

“Masak sih, Yah? Ya, maklum dong Yah, Bunda kan sudah ada buntutnya, tuh hasilnya,” jawabku berusaha tidak tersinggung dengan kritikan tajam suamiku. Tanganku menunjuk Raisya, Farah, Lukman, Tiara, dan Nabila yang sedang asyik bermain boneka di ruang tamu.

“Iya, tapi kan harusnya Bunda menjaga tubuh!! Kan demi Ayah juga, demi keharmonisan rumah tangga kita!!” paparnya kemudian seolah semua ini salahku.

Aku hanya mengangguk seperti biasa. Patuh dan taat pada perintah dan petuah suami, sekali pun kadang menyakitkan. Tak ada protes sedikit pun.

Aku menutup pintu kamar sementara Ayah seperti asyik dengan dunianya sendiri. Ia asyik memelototi gadget yang baru saja ia beli.

Ah, lelaki, apakah benar mereka tak pernah benar-benar mencintai wanita yang mereka nikahi. Apakah benar cinta yang mereka miliki hanya cukup untuk sementara? Saat sang istri masih sanggup melayani. Saat sang istri masih cantik seperti bidadari. Dan saat sang istri masih terlihat indah di mata mereka. Benarkah?

Bila boleh, aku ingin protes. Mengapa bila suami berubah dari segi fisik, istri tak boleh protes. Sedangkan bila istri sedikit saja berubah, sang suami bisa murka dan marah. Inikah yang dinamakan adil?

Bukankah dalam islam derajat wanita itu ditinggikan. Namun kenapa dalam kehidupan sehari-hari, wanita seolah menjadi pihak yang termarginalkan? Inikah budaya patriarki yang menjunjung tinggi kaum lelaki dan merendahkan kaum hawa?

Ah ya sudahlah, aku bisa apa.

“Bunda, jadi gimana?” tanya Ayah tiba-tiba.

Lamunanku terhenti dan menoleh ke arahnya sambil menjawab pertanyaannya,

“Gimana apanya, Yah?”

“Bunda ikut body language yah, perawatan gitu, biar cantik!!” katanya tanpa beban.

Oh, masalah itu rupanya. Aku hanya mengangguk. Sebenarnya, tak ada masalah dengan body language. Toh itu demi kesehatan juga. Tapi, entah mengapa perasaanku berkata lain. Ayah seperti menuntutku untuk menjadi seperti yang dia inginkan. Dan sekarang ini dia sedang kecewa dengan “fisik” ku yang tak lagi seperti dulu. Ah, lagi-lagi aku hanya bisa diam.

**

Sudah beberapa minggu ini aku rajin senam, body language, dan juga perawatan tubuh lainnya. Namun, aku merasa Ayah masih tak puas juga.

“Ehm, belum seperti yang Ayah harapkan, Bun!! Bunda coba lagi ya!!” kata suamiku dengan tenangnya setelah ia meneliti perubahan fisikku yang di matanya tak seberapa itu.

Pentingkah keindahan fisik bagi seorang lelaki???

Apakah hanya fisik yang dipikirkan kaum lelaki???

“Itu udah biasa Wid, lha wong suamiku aja kalau aku gemukan dikit udah marah-marah!!” kata temanku Syasya ketika aku cerita tentang masalahku ini kepadanya.

“Yah begitulah laki-laki, itu mah sudah biasa!” jelas Yola.

“Biasa aja kok Wid, apalagi kalau usia pernikahan kita udah 10 tahun lebih!! Huhh, katanya sih suami kita bakal mengalami yang namanya puber kedua, siap-siap aja!!”

Dheg. Kata-kata Yola membuat aku takut terjadi apa-apa dengan rumah tangga yang telah aku bina bersama suamiku 10 tahun ini.

Tapi apa iya, hanya karena masalah fisik seorang suami bisa melupakan istrinya? Seharusnya mereka mengerti bukan, bahwa tak ada yang abadi di dunia ini termasuk kecantikan fisik.

Aku tetap tak setuju kalau ukuran kebahagiaan pasangan suami istri hanya bertumpu pada fisiknya semata. Ya Allah.

**

Aku heran, akhir-akhir ini Ayah sudah jarang mengkritik penampilanku. Ayah juga tak secerewet dulu yang mengatakan bahwa tubuhku masih belum ideal. Seharusnya aku bahagia karena Ayah sudah tak lagi mempermasalahkan bentuk fisikku. Namun, entah mengapa feeling ku mencium sesuatu yang tak menyenangkan. Feeling sebagai istri sekaligus wanita yang katanya sangat tajam dan perasa.

Mungkinkah?

Ah tidak mungkin, aku mencoba untuk menepis segala macam kecurigaan yang tak beralasan. Aku berusaha untuk lebih positive thinking dengan perubahan yang terjadi pada suamiku.

**

Kejam. Sungguh kejam!! Hari ini aku dikagetkan oleh sesuatu yang aku takutkan. Aku tak sanggup berkata apa-apa bahkan walau hanya sekedar menangis. Segala macam kecurigaanku selama ini ternyata benar adanya. Inikah yang namanya keadilan???

Aku menemukan surat nikah di tas Ayah. Surat nikah bersama wanita lain yang tak lain adalah sahabat baikku sendiri yang selama ini selalu menasehati aku ini itu. Kenapa tega melakukan ini padaku. Yola, bukankah selama ini kamu adalah sahabatku?? Yola, temanku sendiri, sahabatku, orang yang sangat aku percaya.

Aku tak tahu harus bagaimana. Mungkinkah ini salahku? Akibat kebodohanku? Apakah karena aku sering cerita tentang kebaikan-kebaikan Yola di depan suamiku sehingga membuat suamiku terpesona diam-diam. Sedangkan dalam agama yang aku yakini, seorang istri dilarang menceritakan wanita lain di depan suaminya demi menjaga keharmonisan rumah tangga. Ah, bodohnya diriku.


Tulisan di atas adalah tulisanku di annida-online yang websitenya saat ini supended

  • Share:

You Might Also Like

26 comments

  1. Replies
    1. Moga2 aku gak didemo bapak2 y
      Namany fiksi buk 😂
      Lagi nyoba balikin saraf fiksi nih buk wkk

      Delete
  2. Semua yang terjadi pasti ada hikmahnya, ini ujian ... Sabar dan berdoa untuk minta yang terbaik. Temen kakak juga ada yang menghujat, hidupnya juga enggak akan tenang

    ReplyDelete
  3. Jleb banget ini ceritanya teman makan teman itu emang sakit :(

    ReplyDelete
  4. Ini cerita fiksi gitu ya mba? Lanjutkan mba hehe

    ReplyDelete
  5. fiksi kan ya?

    kalau engga, udah siap bawa peralatan buat demo wkwkwk


    diana beautygoers

    ReplyDelete
  6. hoalah aku kira cerita beneran lho mbak.. keget :(

    ReplyDelete
    Replies
    1. Efek nulisny pakai perasaan kali y mb
      Mewakili semua wanita yg tersakiti
      Tsahh

      Delete
  7. Wahh gantung nih lanjutin dong ceritanya mba 😃

    ReplyDelete
  8. ya ampun aku awal-awal baca kaget hahaha ternyata fiksi toh.

    ReplyDelete
  9. Tulisannya bagus kak, jadi pngen belajar banyak deh 😘

    ReplyDelete
  10. Jauh-jauh deh dengan teman seperti ini, dan suami seperti ini..

    ReplyDelete
  11. Mba Oshiiii, aku ajarin dong bikin fiksi. Ini seru bangeeet ya Allah, ndredeg aku bacanya. Nasihat pernikahan banget, apalagi buat aku yg masih seumur jagung ini hehe

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ah sama dek
      Aku pun masih belajar
      Moga2 pernikahan kita selalu langgeng y aamiin

      Delete

Makasih udah ninggalin jejak yang baik ya, Teman-teman! :)