Sandal Jepit Ayah

By miyosi ariefiansyah (bunda taka) - January 21, 2019


(Cerpen ini saya buat 2011 saat mendapat tugas dari Mas Sakti Wibowo, guru menulis. Tema yang diminta saat itu SANDAL JEPIT.)


Aku tak tahu kapan terakhir ayahku memakai sepatu. Yang aku tahu hanya satu, sejak aku masih kecil, ayah selalu memakai sandal jepit berwarna biru, ya biru dan bukan ungu atau kelabu, sandal jepit biru. Bila sandal jepit ayah sudah mengikis dimakan usia, maka ayah akan membeli yang baru. Tentu saja membeli sandal jepit dan bukan sepatu.

Aku sadar, mungkin ayah terlalu sayang untuk membeli sepatu. Harganya mahal sekalipun yang imitasi. Mahal untuk ukuran keluargaku

Aku ingin Ayah memakai sepatu walau hanya sekali saja dalam hidupku. Sekali! Tidak banyak, bukan? Tapi, mengapa keinginanku ini serasa mustahil? Kenapa? Ayah bahkan selalu marah-marah ketika aku menyinggung-nyinggung soal sepatu, terutama yang berharga mahal.

"Yah, aku mau belajar yang rajin, cari uang yang banyak, dan bisa membelikan sepatu buat Ayah!" kataku suatu ketika tanpa beban tanpa perasaan apa-apa.

Aku pikir ayah akan senang. Aku pikir beliau akan tersipu malu seperti ayah-ayah pada umumnya yang akan langsung terbang melayang ketika anaknya memberikan janji surga. Namun, yang aku terima justru sebaliknya. Bukan pujian. Bukan juga cacian. Entahlah, aku juga susah menyebutnya!

"Gak usah kau sebut-sebut sepatu mahal sepatu mahal sepatu mahal! Percuma pakai sepatu mahal kalau otaknya nggak beres! Percuma pakai sepatu mahal kalau seperti serigala! Percuma punya ratusan sepatu mahal kalau perilakunya seperti binatang buas! Jangan lagi kau sebut-sebut nama sepatu di depan Ayah!!" respon Ayah dengan penuh emosi yang bertubi-tubi tanpa ada spasi.

"Lhoh... Yah.. tapi... ehm... mengapa?" jujur aku memang bingung dan ingin bertanya. Boleh kan anak bertanya kepada ayahnya?

"Gak usah nanya! Titik!" Ayah benar-benar marah dan langsung pergi.

Aku masih ingat, suasana malam itu yang sepi jadi semakin sunyi setelah Ayah membanting pintu kamar dan meninggalkan aku sendiri. Bingung. Heran. Kaget.

Ah... mungkin ayah malu. Bukankah banyak orang tua yang memiliki tipe basa basi yang tak mau mengatakan yang sebenarnya sekalipun itu kepada anaknya? Mungkin ayah ingin sepatu bagus tapi tak mau membebaniku.

Ayah.. ayah... membelikan ayah sepatu tak akan membuatku jadi sengsara. Aku berjanji kalau uang hasil berjualan koran ini sudah terkumpul banyak, kan aku belikan ayah sepatu, meski mungkin aku hanya bisa membelikan ayah yang imitasi terlebih dahulu. Tak apa kan, Yah?

Maka, sejak saat itu aku bekerja lebih keras. Demi ayahku. Aku tak mau ayah memakai sandal jepit butut berwarna biru itu lagi. Aku benar-benar tak mau. Aku ingin sesekali ayah seperti ayah teman-temanku yang memakai sepatu. Meski ayahku hanya berprofesi sebagai seorang tukang jahit keliling, bukan profesi keren seperti kata kebanyakan orang, tak apa kan bila ayahku sesekali pakai sepatu. Pasti tampan.

Bila di dunia ini aku disuruh menyebutkan tiga permintaan, maka inilah permintaanku:

1. Aku ingin ayah membuang jauh-jauh semua sandal-sandal jepitnya yang berwarna biru itu.
2. Aku ingin ayah memakai sepatu, dan
3. Aku ingin ayah tak teringat lagi dengan sandal jepit bututnya

Sederhana, bukan?

Aku ingin ayah bekerja dengan memakai sepatu. Dan bukan sandal jepit butut berwarna biru. Sekalipun pekerjaan ayah dianggap tidak keren bagi orang-orang yang merasa dirinya mampu. Tapi tak ada yang melarang bukan bila aku ingin ayahku mengganti sandal jepit dengan sepatu?

**

Plak! Plak!

"Apa-apaan kamu?"

"Sudah kubilang kan ayah benci dengan yang namanya sepatu!! Apa kamu tidak dengar?"

Mata ayah menatapku nanar saat menerima sepatu pemberianku.

Aku masih belum mengerti. Pipiku masih sakit akibat tamparan ayah untuk yang pertama kalinya ini. Hatiku? Tentu saja sakit karena merasa usahaku sia-sia. Ya, usahaku untuk membahagiakan ayahku tidak dihargai sama sekali. Kalian tahu bukan rasanya tidak dihargai seperti apa.

AKU BENCI AYAH MEMAKAI SANDAL JEPIT. AKU BENCI. BENCI SEKALIGUS KASIHAN.

Apakah aku tak boleh sedih ketika melihat ayahku dipandang remeh karena selalu memakai sandal butut lusuh?

Apakah aku tak boleh sakit hati ketika teman-temanku memandang aneh setengah mengejek ketika melihat ayahku memakai sandal jepit butut lusuh itu ke sekolah?

Apakah aku tak boleh membahagiakan ayahku walau hanya dengan cara yang sederhana?

SUMPAH! AKU TAK MENGERTI!

Katakan, apa salahku? Mengapa ayah menamparku hanya karena aku membelikannya sepatu? Maaf bila mungkin aku baru bisa membelikan ayah sepatu imitasi. Tapi aku bangga karena semua ini hasil kerja kerasku. Aku lembur selama berminggu-minggu sebagai loper koran. Aku mengurangi jam belajarku agar bisa berjualan koran. Aku paksakan diriku belajar larut malam sekalipun capek selepas berjualan koran. Semua aku lakukan demi ayahku. Aku ingin ayah tak memakai sandal jepit lagi. Aku sayang ayah. Aku kasihan dengan ayah. Apa tak boleh?

PLEASE, KUMOHON, BERI TAHU AKU DI MANA SALAHKU?

Aku masih terisak dengan tangisku selepas ayah menamparku. Sepatu imitasi pemberianku sudah terjungkal nun jauh di sana karena dilempar ayah. Dan rupanya ayah menyesal telah menamparku. MENAMPARKU HANYA KARENA SANDAL JEPIT DAN SEPATU!

"Kau tahu kenapa ayah tetap memakai sandal jepit dan membenci sepatu?" Kini ayah mendekatiku. Mungkin beliau menyesal karena sudah menamparku.

"Ibumu selingkuh saat kamu masih bayi. Selingkuh dengan pengusaha sepatu."

"Sekarang kamu tahu bukan kenapa ayah sangat benci dengan sepatu dan lebih memilih untuk memakai sandal jepit biru yang kau sebut-sebut lusuh itu?"

Lagi-lagi, ayah pergi.

Menyisakan teka-teki lagi.

Jadi, ibu..?

Lalu, kenapa harus sandal jepit berwarna biru?

Namun, kali ini aku lebih memilih untuk diam dan tak ingin mengorek lebih dalam lagi tentang luka di hati ayah. Biarlah ayah tetap dengan sandal jepit bututnya berwarna biru itu bila memang hal itu membuat ayah bahagia dan bisa melupakan pengkhianatan ibu di masa lalu.

  • Share:

You Might Also Like

16 comments

  1. Duh, ngenes banget..ku sedih. Itu bener-bener bikin Ayah trauma sampai nggak mau pakai sepatu, Mbak. Endingnya nggak bisa ditebak..keren ih cerpennya sukaa...

    ReplyDelete
  2. Ya Ampun ... Kasian. Ayah sampe trauma pada sepatu

    ReplyDelete
  3. Ya Ampuun ... Kasian ayah. Ternyata dia mengalami trauma yang begitu dalam😢

    ReplyDelete
  4. Wuaduh, sepatunya dilempar kemana tuh?
    Cerpennya bagus, tapi endingnya pait mbaaa.. huuhuu

    ReplyDelete
  5. Gak nyangka endingnya. Jadi ingat Bapakku Rahimahullah dengan sepeda tua andalannya. Beliau juga lebih memilih bersepeda daripada naik motor padahal insya Allah, beliau mampu membelinya. Alasan beliau waktu itu karena bersepeda lebih sehat dan hemat. Duh, jadi kangen Bapak.

    ReplyDelete
  6. Keren mbak, endingnya gak disangka

    Sampai trauma gitu ya

    ReplyDelete
  7. Saya suka baca ini, penyajiannya Keren. Twist ending juga. Bikin baper yang baca.

    ReplyDelete
  8. Ah, kasihan si ayah, mengalami trauma mendalam ... tapi yang dialaminya memang menyedihkan.

    ReplyDelete
  9. ku malah mengira bahwa sendal jepit biru itu dari seseorang yang paling dia sayangi mungkin istrinya, tapi malah sebaliknya. yampun lanjutin mba ceritanya saya kepo juga kenapa harus warna biru? mungkin kali ini yg ditanya orang sekitar ayah bukan si ayah wkwk *efek penasaran ~

    ReplyDelete
  10. Ide ceritanya keren. Tidak terduga dari hal sepele jadi bahan ide

    ReplyDelete
  11. nyesek deh bacanya. sampai segitu traumanya ya sama sepatu. :(

    ReplyDelete
  12. ahhh sukakkk
    meski bikin mbrebes mili
    tapi ceritanya ngalir asikk mb

    masih nulis cerpenkahhhh sekarang?

    ReplyDelete
  13. Idenya unik nih, Mbak. Sandal jepit:)
    Ternyata ada luka yg belum sembuh di hati ayah si 'aku' ya.
    Nice story :)

    ReplyDelete
  14. Bagus cerpennya. Jadi terharu😢. Hikmahnya...pasti ada alasan kenapa seseorang melakukan sesuatu..termasuk ayah dgn sandal jepitnya🙏

    ReplyDelete
  15. Laki-laki mmg susah ditebak. Ayah yang trauma ttg sepatu ternyata punya pngalaman pahit. Anakpun tk bs mnduga2 knp sang Ayah begitu benci sepatu. Sampai akhirnya terkuak tp msh mnyisa tnya kenapa hrs sandal jepit Biru yg sll dipakai bkn ungu atau abu2? Endingnya menyisa tnda TNT's Besar yaa... Biar pmbacanya mereka-reka sendiri... Keren mbak...

    ReplyDelete

Makasih udah ninggalin jejak yang baik ya, Teman-teman! :)