Perjalanan Menjadi Ibu Rumah Tangga kemudian Bekerja dari Rumah

By miyosi ariefiansyah (bunda taka) - January 08, 2019



Meskipun zaman sudah berubah, meskipun sosialisasi "bekerja dari rumah" semakin gencar, dan meskipun meskipun yang lain, tapi toh tetap saja... enggak sedikit yang masih beranggapan bahwa KERJA ITU HARUS BANGET KANTORAN yang pergi pagi pulang sore atau malam. Kalau enggak gitu, seriweh apa pun di rumah, tetap saja dibilang PENGANGGURAN. Hehehehe. Jangan baperr. Yang baper enggak usah lanjut, mending tarik selimut aja terus baca doa sebelum tidur.


Saya pun mengalami "tekanan" seperti itu... dulu. Sempat baperr dan dramaa. Kalau sekarang sih bodo amat, ya. Macam udah enggak zaman lagi ngurusin pergalauan yang udah saya alami di masa muda. Jadii, tulisan ini tuh hanya sekadar nostalgia barangkali berguna buat adek-adek yang lagi galau karena merasakan hal yang sama. Tapi ya maafkan semisal baca ini malah tambah galau. 😂🤣


Menjadi salah satu lulusan terbaik saat kuliah dengan sejarah selama sekolah termasuk siswa yang diperhitungkan, bisa jadi bumerang buat pemiliknya. Ada yang merasa begitu? Selain dapat pujian, tekanan serta harapan juga bakal diberikan. Seolah, kita enggak boleh salah atau ke luar jalur padahal jalurnya masih di jalan yang lurus. Maka, sudah bisa ditebak, kalau si lulusan terbaik tsb enggak memenuhi ekspektasi, komen pedas pun berdatangan.


"Lhoh, kok cuma jadi..."
"Masa kalah sama anu..."
"Ternyata sekarang cuma..."
"Enggak nyangka aja sih..."


Jangan komen "walah cuma gitu doang". Tolong sesuaikan aja dengan usia kala itu. Bagi mereka yang masih di usia lugu, pertanyaan dan pernyataan macam di atas bisa jadi sangat mengganggu.


Saya pun.


Ketika menjadi salah satu lulusan terbaik kemudian menikah dan memutuskan menjadi ibu rumah tangga, komen-komen pedas pun mengalir sesuai dengan keyakinan dan kepercayaan mereka masing-masing. Sedih, pastinya.


Tapi kalau dulu udah ada medsos, kayaknya biasa aja sih soalnya saya pasti berpikir "banyak temennya kok, yang diginiin enggak cuma saya". Jadi kalau dari sisi ini, keberadaan medsos memang sangat bermanfaat. Di dunia ini enggak cuma kita aja yang dikomenin aneh-aneh yang ternyata kalau dibandingkan sama orang-orang di medsos enggak ada apa-apanya. Ealah, cuma di-bully orang sekecamatan aja dah lembek. Cemen, ah. Begitu ibaratnya.


Sebenarnya, saya tidak pernah berpikir untuk menggantungkan hidup pada suami. Sombong amat, ya. Minta ditabok emang. Maksudnya begini, dulu saya mikirnya... saya dan suami sama-sama berkarier di luar. Tapi, suami saya yang notabene kakak kelas dan kakak tingkat kuliah enggak setuju. Dia sih bilangnya dia aja yang di luar, istri yang berkreasi dari dalam karena waktunya lebih fleksibel. Dan lagi, kerja itu enggak harus kantoran. Lebih-lebih buat wanita. Di rumah tuh bisa bangett. Begitulah kata dia.


Saya tidak setuju awalnya. Kami berdebat dari a sampai z, tapi mau "ngelepas" laki-laki macam ayahnya bocil hanya karena masalah gak prinsip-prinsip amat sebenarnya kok ya eman. Ayahnya bocil udah terbukti baik hatinya sejak awal kenal. Bagi saya yang udah apriori sama laki-laki, akhirnya bisa luluh dan beneran cinta sama ayahnya bocil tentu bukan hal yang mudah dan jelas bukan karena alasan sepele yang sifatnya kasat mata. Pastilah dia punya sesuatu yang mampu menggetarkan dan meluluhkan hati yang sulit saya temukan di laki-laki lain. Beuhh... semua orang yang jatuh cinta juga bilang gini. Subyektif amat, yess. Wkkk. Makanya, masa cuma gara-gara itu aja, saya "pergi". Toh, saya masih boleh ngapain aja sesuka hati selama itu positif. Request ayahnya bocil kan cuma "jangan jadi pegawai kantoranlah, aku aja, kan kerja gak harus di kantor,"

Mungkin, saya memang wanita yang ambisius. Ya, ada sebab-sebab yang enggak bisa saya jelasinlah ya kenapa saya dulu begitu. Yang jelas, menghasilkan duit sendiri bagi saya dulu enggak sekadar agar BEBAS ngapain aja karena toh kalau itu suami saya bebas-bebas aja saya mau ngapain dan lagi saya bukan istri boros. Yes, enggak sekadar itu. Punya penghasilan sendiri bagi saya kala itu adalah... lebih ke masalah pembuktian, harkat, dan martabat, serta harga diri sebagai wanita agar dihargai. Feminis banget, ya. Ho'oh. Hasil budaya patriarki memang salah satunya "pemberontakan" entah dengan cara bagaimana. Maka, seperti opini saya waktu itu bahwa menghasilkan duit sendiri bagi saya memang lebih ke masalah PERSAMAAN HAK, bukan masalah biar bisa ngabisin duit secara bebass. Lha wong sekarang saat dapat hasil sendiri, saya tetap pakai duit suami kok. 😂🤣


Tapi, semua pikiran sombong yang udah saya yakini sejak sangat beliaa yang sebenarnya dilatarbelakangi oleh rasa takut tsb terpatahkan saat bertemu suami. Dia banyak membuat mata hati saya terbuka perlahan. Dia menghargai saya. Dia hanya ingin "ngeman" saya. Ini poinny. Seperti yang saya tulis di Instagram hari ini.




Jadinya, setelah menikah, saya resmi memulai karier dari rumah: sebagai ibu rumah tangga plus kerja dari rumah. Saya tutup mata dan telinga terhadap semua panggilan kerja yang menggiurkan. Saya mulai merintis lagi dari bawah. Dan setelah saya jalani selama 10 tahun ini, seru juga lhoh. Saya dapat perspektif lain. Saya yang notabene enggak suka dikekang pada akhirnya menikmati bekerja dari rumah yang enggak perlu tunduk sama aturan kantor. Emang sih enggak selalu di rumah karena sesekali juga ketemuan sama pemberi kerja. Tapi, mayoritas kerjaan saya memang dilakukan di rumah dengan media sosial sebagai pendukungnya buat komunikasi.

Meski saya menikmatinya dan banyak dapat pelajaran dari dunia tsb, tapi toh enggak mulus-mulus aja tentunya. Baper dan drama itu ada. Bosan juga pernah. Saya rasa semua kerjaan ya gini, sih. Enggak mungkin kan enak 100 persen. Tapi yang jelas, saya bersyukur masih bisa menyalurkan apa yang ingin saya salurkan hanya dari rumah aja.

Saya paham, setiap pasutri memiliki peraturannya masing-masing. Orang lain mana berhak ikut campur. Ya, kan. Tidak ada lebih gimana dan gimana selama semuanya sesuai kesepakatan. Ada pasutri yang sama-sama berkarier di luar. Ada juga yang sama-sama berkarier dari rumah, entah punya usaha bersama atau jadi pekerja lepas. Dan tentu saja, enggak sedikit yang seperti kami: suami kerja kantoran, istri kerja dari rumah.


Mengenai beragam opini dan komentar orang yang enggak bisa kita kendalikan, yang bisa dilakukan emang enggak ada selain SABAR dan FOKUS pada tujuan. Toh, mau kerja apa pun ya, mau punya kehidupan seperti apa, komentar itu akan selalu ada. Kayak kita enggak pernah ngomentarin idup orang aja meskipun cuma dalam hati. Wkkk.


Satu, sih, yang jelas....
Apa pun pilihannya, Allah tujuan akhirnya. Aamiin. 😊😍😘


Buat semua ibu yang bekerja, berkarya, berdagang, dan berbisnis dari rumah, semangat ya kita!!

  • Share:

You Might Also Like

6 comments

  1. Malah banyak yang kerja kantoran pengen kerja dari rumah mbak apalagi kalau sudah punya anak. Yang penting diri sendiri happy, dan keluarga meridhoi ^_^

    ReplyDelete
    Replies
    1. Nah ini
      Sering saya denger curhatan gini sih mb dr temen2 yg kerja kantoran
      Emng sawang sinawang yes xixixi

      Delete
  2. Saat memutuskan nikah, saya juga sama seperti mbak: menurut tidak lagi kerja kantoran. Awalnya bosan. Namun untungnya bisa kerja dari rumah. Alhamdulillah

    ReplyDelete
  3. Hai, mbak... salam kenal. Aku sedang menerapkan menulis SEO nih. Dan mencoba meletakkan link dari luar blogku biar SEO nya nyala hijau (saya pakau wordpress). Mbak bisa lihat backlink artikelnya disini ya... https://jurnaljihan.com/2019/10/03/ketika-bercita-cita-menjadi-ibu-hebat-bukan-ibu-pekerja-atau-ibu-rumah-tangga/

    ReplyDelete

Makasih udah ninggalin jejak yang baik ya, Teman-teman! :)