Pengalaman Menulis 15 Artikel Seminggu dan 35 Artikel Tiga Minggu

By miyosi ariefiansyah (bunda taka) - March 16, 2022


Saya berharap pembaca tidak akan muntah-muntah apalagi kejang-kejang baca judul postingan ini. Sungguh, saya enggak bermaksud narsis, hanya sekadar ingin berbagi cerita saja yang ujung-ujungnya juga dalam rangka menyemangati dan mensugesti diri. Kalau bukan kita sendiri, siapa lagi. Iya, nggak?

Menulis 15 artikel seminggu dan 35 artikel tiga minggu @ 1.000 kata, bagaimana ceritanya?

Jujur, menulis artikel dengan target tertentu sejatinya bukanlah barang baru buat saya. Bahkan kalau boleh dibilang, saya memang mengawali karier di dunia literasi belasan tahun silam ya sebagai penulis konten dari NOL dari belum ngeuh yang namanya SEO, keyword, key phrase, dan semacamnya. "Makanan" apa itu. Demikianlah kira-kira. 

Saya belajar sambil jalan. Ibarat berenang, saya langsung disuruh nyebur tak peduli mau megap-megap, tenggelam, atau enggak. Tapi nyatanya, setiap manusia memang punya kemampuan beradaptasi dan belajar, ya. Berbekal passion di bidang penulisan yang sangat kuat, Alhamdulillah saya mempelajari semuanya dengan penuh suka cita. Sebenarnya, sampai sekarang pun saya masih terus belajar karena dunia kepenulisan konten itu terus berkembang seiring dengan makin populernya digital marketing. Kita enggak boleh mudah puas dengan skill yang kita miliki saat ini, bukan. Harus terus diasah biar enggak usang. Begitu katanya.

Di awal jadi ibu, saya sempat vakum alias memutuskan untuk tidak terikat dengan pihak mana pun dan fokus dengan si kecil. Bila pun tetap menulis, sifatnya bisa dikatakan sesuka-suka guwee. Alhamdulillah, saya menikmatinya. Toh, "kerempongannya" tetap sama kok cuma bentuknya saja yang beda. Saya hanya berusaha menikmati setiap tahapan kehidupan yang saya jalani.

Saat Taka sudah mulai besar, alhamdulilah kesempatan untuk bisa seperti dulu (seperti saat belum punya anak) satu per satu mulai terbuka. Salah satunya, ya ini. Meskipun jelas tak bisa disamakan ritme menulis saya saat belum punya anak versus sudah, tapi tetap sama-sama bisa dinikmati. Setiap status punya tantangannya masing-masing kok. Mungkin alasan itu juga yang membuat saya ingin menceritakannya di sini, sekaligus menjawab pertanyaan rekan saya beberapa waktu yang lalu.



Kembali ke masalah awal, bagaimana pengalaman saya berjibaku membuat 15 artikel seminggu dan 35 artikel tiga minggu @1.000 kata? Saya jabarkan per poin, ya.


1. Usahakan kita menulis yang temanya kita bangett atau setidaknya kita tahu, jangan sampai nge-blank sama sekali

Poin ini sepertinya sudah rahasia umum, ya. Jelas dong, menulis hal yang sudah pernah kita alami, pelajari, amati, atau bahkan cintai akan lebih "mulus" ketimbang yang belum pernah kita "jamah" sama sekali. Yang kedua ini penyesuaian plus risetnya banyak memakan waktu. Kabar baiknya, kami memang diberi tema-tema yang "sefrekuensi". Alhamdulillah.


2. Jangan siakan-siakan waktu "luang" untuk membaca, mencari bahan, atau membuat draft tulisan

Emak-emak cari bahan nulisnya kapan? Tiap penulis mungkin beda ya, tapi kalau saya salah satunya adalah saat nungguin bocah sekolah. Waktu tsb kerap disebut waktu "luang", ya. Nah, saya tidak ingin menyia-nyiakannya. Sembari ngobrol dengan teman-teman yang juga sama-sama nungguin anaknya, saya mulai browsing-browsing atau setidaknya ngumpulin bahan-bahan dari perpustakaan digital. Cara ini cukup efektif di saya. 

Waktu "luang" ini juga bisa dimanfaatkan untuk membuat draft tulisan. Contohnya saat ini saja, saya menulis ini saat nungguin anak les di EF. Masalah postingnya kapan, itu bisa malam hari sebelum tidur. 😁 Kebetulan, projek menulis artikel sedang libur beberapa hari jadinya saya bisa menulis di blog ini dengan tulisan lebih panjang huehehe.


3. Menyambung poin sebelumnya. Sebaiknya, kita sudah ada gambaran nanti akan buat tulisan seperti apa meskipun masih hanya sebatas di kepala sekalipun, jangan sampai nge-blank tak tahu harus berjalan ke mana. Jadi saat judul dibagi, biasanya saya sudah ada bayangan, "Oh, nanti begini," Dan, kembali lagi, hal tsb bisa terealisasi biasanya ketika tema tulisan "sefrekuensi" dengan kita.


4. Jangan remehkan draft-draft kecil sekalipun itu hanya di catatan HP

Yups, seperti saat ini misalnya, saya menulis di HP. Pun ketika pergi ke mana pun itu atau berkegiatan apalah, ketika kepala saya terbersit sesuatu, langsung saja saya tulis di note HP sebelum dia "kaburr". Ini terbukti ampuh bangett. 

Jangan membayangkan menulis tuh harus dalam posisi tenang, santai, ada secangkir kopi, ada musik-musik, dan semacamnya. Nope! Bagi emak-emak, nulis harus bisa di mana saja. Kalau nunggu kondisi ideal, tulisannya bisa nggak jadi-jadi atau anak dan suami yang jejeritan. 🤣


5. Fokus dan jangan mudah terdistraksi, berani pilih prioritas

Kesannya mungkin sepele banget. Padahal di zaman serba digital seperti sekarang, poin nomor lima ini bisa jadi musuh utama. Untuk ranah penulis saja, godaannya huaaakeehhh alias banyak. Ingin ngeblog, ingin nulis buku, ingin ikut lomba, ingin jadi kontributor ini, ingin nulis skenario, ingin aktif di medsos, ingin anu, ingin itu, blablabla. Ya, nggak?? Ngaku! 🤭 Yakin bisa dijalani semuaa? Kalau masih "sebatang kara" mungkin iya bisa. Saya pun pernah mengerjakan banyak kerjaan beda-beda dalam satu waktu saat masih belum jadi ibu. Tapi ketika sudah ada tanggung jawab anak, maaf kalau saya tidak bisa. Biar gimana, anak adalah prioritas utama. Jadi ketika saya menulis A, pastinya harus merelakan B. Dan bagi saya, hal itu enggak masalah banget selagi bisa quality time dengan anak. Sedangkan "hanya" mengerjakan A saja, saya juga butuh manajemen waktu yang baik. Maklum, saya merantau, jauh dari saudara yang bisa dititipin anak (padahal berdasarkan pengalaman meskipun dekat dengan keluarga saya juga enggak mau nitipin anak), dan enggak ada ART (enggak mau ada "orang ketiga" sih lebih tepatnya). Jadi ya meskipun "cuma" mengerjakan proyek A saja misalnya, saya harus banget banget memanajemen waktu dengan baik.

 

6. Jangan tunda

Pastinya kegiatan kita enggak hanya menulis, ya. That's why, salah satu cara biar enggak keteteran ya yang bisa dilakukan sekarang lakukanlah segera jangan tunda nanti-nanti. Misal, ketika saya diminta membuat caption Instagram untuk organisasi ibu-ibu yang saya ikuti di sini di tempat suami bekerja. Ketika posisi saya saat itu sedang free (anak sudah selesai belajar & saya sudah selesai menyetor tugas artikel), maka saya akan membuatnya segera. Alih-alih nanti saja karena belum ada inspirasi yang ada malah keteteran karena ditunda berarti menambah pekerjaan. Apa pun itu, yang bisa kita lakukan sekarang, lakukanlah. 


7. Beri pengertian anak saat bekerja

Buat saya, suami dan anak adalah support system terbaik. Mereka adalah anugerah Allah terindah. Kalau memberi pengertian ke suami mungkin mudah ya lha wong dia sendiri juga sibuk 🤣🤣, kalau ke anak ini yang sedikit menantang. Tapi, bukan berarti enggak bisa. Sejauh ini, anak saya cukup pengertian. Saya pun memenuhi haknya dulu sebelum bekerja, misalnya belajar atau main bareng dulu serta memastikan dia dalam kondisi kenyang. Jika semua hajatnya sudah terpenuhi, saya pun tenang saat harus fokus menulis. Dia juga enggak rewel dan bisa main sendiri. Dari sisi ini, sejatinya saya sangat bersyukur karena bisa bekerja tanpa harus meninggalkan anak. 


Bekerja setelah jadi ibu memang penuh tantangan, sekalipun sifat pekerjaannya "merdeka" alias enggak terikat waktu seperti penulis konten yang notabene enggak butuh berangkat pagi pulang malam pakai seragam. Yups, meski tak seperti itu, tapi praktiknya tetap perlu trik agar semua yang dilakukan tak keteteran.

Tiap penulis pastinya punya cara berbeda, termasuk saya. Kalau saya, dengan menerapkan 7 hal di atas, mengerjakan 15 artikel seminggu dan 35 artikel tiga minggu bisa terlaksana. Kalau teman saya, mungkin beda lagi. Yang jelas, apa pun hal yang saat ini sedang dikerjakan, kita harus banget tahu kemampuan atau kapasitas diri ini seperti apa. Semangat, ya!



  • Share:

You Might Also Like

0 comments

Makasih udah ninggalin jejak yang baik ya, Teman-teman! :)