Hari ke-9: Perjalanan Suami Kuliah ke Jepang, Perjuangan Mengakhiri Hubungan Jarak Jauh dalam Pernikahan

By miyosi ariefiansyah (bunda taka) - January 09, 2020


Hari ini, aku ke Tsukuba City Hall untuk menunjukkan buku bukti vaksin Taka dari Indonesia yang lupa kubawa pas ke sana tanggal 6 kemarin. :) Ada lumayan banyak hal menarik yang bisa dibagi sebenarnya, tapi aku lebih tertarik cerita tentang perjalanan suamiku kuliah ke Jepang yang itu juga termasuk perjuangan mengakhiri hubungan jarak jauh dalam pernikahan. Jadi dengan kata lain, aku dan suami baru bersatu lagi alias seatap ya ketika di Jepang ini. Kami sangat-sangat bersyukur bisa serumah lagii setelah terpisah jarak sejak September 2016. Ada teman diskusi ngalor ngidul yang superr nyambung angett dan juga teman... beberes & momong bocah wkk. Alhamdulillah. Nikmat Allah mana yang kau dustakan?

Wacana (atau lebih tepatnya rencana) untuk bisa kuliah lagi sebenarnya sudah kami miliki sejak sama-sama S1. Tapi dalam praktiknya, ternyata enggak semudah itu. Walau di sisi lain, kami paham kalau apa yang sudah kita dapatkan sekarang itulah yang terbaik. Setelah menikah muda, suami fokus kerja di salah satu perusahaan Jepang sedangkan aku menulis (walau sekarang masih vakum). 

2016, tiga tahun setelah pindah kerja, suami punya rencana untuk melanjutkan kuliah. Ya, di tempat kerja dia yang baru, izin sekolah lagi baru bisa diajukan setelah tiga tahun dari waktu pengangkatan. Kegiatan tersebut juga merupakan bagian dari tugas belajar.

Enggak sedikit yang bertanya kenapa pilih Jepang, bukannya kalau ekonomi harusnya lebih ke Eropa atau Amerika?

Ihhh... kepo, dehh. Ya suka-suka yang milihlah. Wkkk. Enggakk deengg... santaii, aku enggak mikir gitu kok. Xixixi.

Alasannya sederhana sebenarnya karena sejak zaman masih berseragam putih abu-abu, Jepang adalah negara impian kami untuk ditinggali. Cuma waktu itu sama-sama mikir juga, "Mungkin nggak ya ke Jepang not just for traveling, but LIVING". Kenapa Jepang? Kan negara maju ada banyakk. Ehm... jujur kalau untuk detailnya mungkin tidak bisa kutulis, tapi poinnya adalah kami memang sudah suka Jepang sejak lama. Everyone has their own preference, don't they? Seperti halnya makan bubur, meski akoehh tim bubur enggak diaduk, tapi toh teteup berteman dan menghormati tim bubur diaduk. Hadeehhh... yaeyalah. LOL.

Sebagai orang yang sudah bekerja dan berkeluarga, untuk melanjutkan studi ke jenjang lebih jauh memang bukanlah hal yang sederhana sebagaimana yang pernah kutulis juga di blog ini. Mula-mula, suami harus minta IZIN PRINSIP dulu. Prosesnya pun tidak bisa dalam hitungan hari apalagi jam, tapi bisa berbulan-bulan bahkan tahun.

Berdasarkan pengalaman suamiku (karena kalau sekarang peraturannya mungkinn beda lagi), ada beberapa syarat dan hal yang harus dia penuhi dan lakukan:

1. Tes IELTS
2. Dapat rekomendasi dari pimpinan
3. Motivation statement
4. Tes TPA
5. Interview di kantor pusat
6. "Printilan" lain yang sifatnya teknis

Kalau sudah lolos, barulah IZIN PRINSIP didapat. Gampangannya udah dapat persetujuan, "Ya, kamu boleh lanjut sekolah,"

Izin sekolah lagi sudah dikantongi, selanjutnya NYARI kampus. Mending mana nyari kampus atau nyari jodoh? Katanya sih mending nyari jodoh. Bukannya sok laris, tapi kalau jodoh kan dah jelas sejak zaman "prasejarah" ibaratnya ya cuma sama siapa, terus nikah, terus punya anak. Seenggaknya kalau suamiku gitu. Sedangkan nyari kampus... ternyata tidak semudah membalikkan telapak tangan. Ada berbagai hal yang menjadi pertimbangan. Meski kalau negaranya sendiri insyaallah sejak awall juga sudah jelas, JEPANG. Tapi kalau kampusnya, ini yang mikir bangett. Belum lagi masalah kerjaan yang seolah enggak ada habisnya. Di sisi lain, kalau enggak segera S2, usia untuk mendapatkan beasiswa keburu lewat. 

Sekolah lagi untuk mereka yang sudah punya seabrek kesibukan baik domestik maupun nondomestik serta tanggungan tidaklah semudah itu, Dao Ming Tse. Tapii, bukan berarti enggak bisa. Jika dibandingkan dengan lulus S1 langsung lanjut kuliah lagi, yang ada "jedanya" (S1 kemudian kerja lalu menikah terus punya anak) effortnya memang haruss lebih lagi.  

Februari 2019, suami memasukkan berkas-berkas aplikasi beasiswa ke kampus yang dituju. Adapun dokumen yang disertakan serta hal-hal yang dilakukan waktu itu adalah: 

1. Form aplikasi
2. IELTS
3. GRE
4. Professional recomendation
5. Academic recomendation
6. Motivation statement
7. Research plan
8. Etc yang sifatnya lebih ke teknis

Maretnya, suami diminta untuk melengkapi data-data berupa transkrip dan ijazah S1 yang semuanya harus dalam bahasa Inggris. Saat itu, posisi suami masih di Manokwari. Enggak mungkin dong pulang "cuma" buat ngurus secara kerjaan dia juga lagi padat-padatnya. Bersyukur kami sealmamater (ya pas SMA, ya pas kuliah) sehingga pas aku ngurus ke sana beberapa stafnya (yang mayoritas sudah ganti dengan wajah baru) masih kukenal dan kenal aku. Apalagi, kisah cintaku dan suami cukup yagitudeh... eaaa wkkk. Alhamdulillah, intinya lancar.

April, suamiku masuk ke tahap selanjutnya, yaitu interview (online) by skype. 

Poin-poin di atas dilakukan oleh universitas yang dituju. Form dan berbagai macam dokumen untuk pengajuan beasiswanya sendiri dikirim suamiku dari Manokwari ke Malang untuk kemudian kukirim ke Jepang (da. universitas tempat suami akan melanjutkan sekolah). Jika lolos, oleh universitas diajukann ke calon pemberi beasiswa (dalam hal ini ADB atau World Bank). 

Sebelum puasa, pengumuman LOLOS itu datang. Lumayan cepat memang prosesnya. Alhamdulillah. Allah Mahabaik.

Apakah kemudian bisa langsung berangkat gitu aja? Nope. Jangan senang dulu. Xixixi. Proses berikutnya masih berlanjutt, Cen Ling.

Katakanlah perjalanan ini kubagi dua fase, maka lolosnya suamiku masih fase I. Berikutnya masih ada fase II yakni proses di mana secara fisik suamiku benar-benar bisa masuk ke Jepang.

Yang harus diurus berikutnya adalah:
1. Visa tinggal sebagai pelajar
2. Izin tugas belajar dari kantor 

Untuk mengurus visa tinggal sebagai pelajar, suami butuh CoE. Beruntung karena dia otomatis dibantu oleh pihak kampus. Kalau enggak salah proses pengurusan CoE dia mulai awal Juni 2019 dan terbit kemudian sampai di Indonesia akhir Agustus.

Sedangkan untuk izin definitif dari kantor, yang suami butuhkan:
1. University Acceptance Letter
2. Izin Prinsip
3. Pengajuan plus rekomendasi pimpinan
4. Dll yang sifatnya teknis

Minggu ketiga September, suami pergi ke Jepang setelah Visa dan CoE resmi dikantongi plus tiket di tangan. 

Meski LDM Malang - Manokwari, kami lumayan sering ketemu karena suami ikut program terbang murah di salah satu maskapai yang sekarang udah tutup. Jadi pada saat dia terbang ke Jepang dan baru akan ketemu lagi setelah aku & Taka nyusul... sungguh... momen tersebut benar-benar terasaaa. Meski masih bisa video call setiap saat, tapi toh rasanya tetap lebih enak bisa berkomunikasi secara langsung.

Sempat terbersit dalam pikiran gimana kalau CoE-ku ditolak atau diterbitkan tapi enggak tahu kapan. Bersyukur, suami menenangkan dan tetap berpikir positif. 

"Kenapa ya mau bareng aja mesti ke Jepang dulu?" LOL

Meski kemudian aku sadar, yang begini enggak cuma aku dan suami.

Masalah LDM terbesar selama LDM apa? Enggak ada teman diskusi yang beneran nyambung secara nyata. Jujur, kalau nikahnya udah lamaaa apalagi kenalnya udah sejak "bayi" ibaratnya, perasaan yang ada tuh lebih ke arah apa ya... nyaman kali ya karena udah makin paham bahkan tanpa harus dijelaskan pun dah tahu. Plus dah seperti sahabat juga. Susah sih buat kudeskripsikan. Intinya LDM kemarin sungguh menyiksa bagi keduanya. LOL.

Hal lain yang kadang membuat diri harus berbesar hati adalah omongan orang bertubi-tubi yang bikin panas. Kalau cuma sekali dua kali tentu wajar. Tapi kalau sering, secuek-cueknya orang ya pasti bete juga. LOL.

Misall:

- Suaminya enggak pernah pulang? (Yakali emang harus ngasih tahu kalau pulang)
- Kayak gitu sering telpon nggak? (Entah aku yang introvert atau pertanyaanny yang terlalu pribadi, cuma kalau orang di sini ditanya gitu pasti yang nanya dianggap gak sopan wkk)
- Deg-degan ya jauh-jauhan gini? Hati-hati lhohh. (Entah kenapa ada aja orang yang seolah merasa lebih tahu daripada yang menjalani)
- dan hal lain yang serupaa

Satu lagi tantangan (banyak mamat) pas LDM kemarin adalah ketika anak sakit. Merasa banget jadi ibu yang gagal meski kata suami engga gitu. Efeknya juga jadi lebih protektif sama anak karena merasa berjuang sendiri. Di titik ini aku jadi ingat orang tuaku dulu yang juga LDM, ketemunya 3 bulan sekali. Aku juga merasa ibukku lebih protektif dibandingkan ibuknya teman-temanku yang ayahnya tiap hari ada karena kerjanya dekat. Pas LDM kemarin  aku seolah diberi jawabannya. Salut untuk semua ibu di dunia ini yang single parent. Semoga Allah selalu menjaga kalian. Aamiin.

Ending tulisan ini adalah aku bersyukur bisa berkumpul di negara impian kami saat remaja, saat cilok masih lima ratusan. Meski akan ada banyak tantangan, tapi aku lega karena suami dan anak, dua laki-laki ini, bisa langsung kulihat setiap bangun tidur di pagi hari. Alhamdulillah. Nikmat Allah mana yang kamu dustakan? 

  • Share:

You Might Also Like

2 comments

Makasih udah ninggalin jejak yang baik ya, Teman-teman! :)