Hari ke-13 di Jepang: Maaf, Silakan, & Terima Kasih

By miyosi ariefiansyah (bunda taka) - January 13, 2020



"Sok manis!"
"Lebayyy!"
"Dasar cari muka!"
"Dibuat-buat banget sikapnya!"
"Sok baik!"
"Modus!"
"Hati-hati, ada udang di balik bakwan!"
"Nusuk dari belakang sih biasanya yang suka bersikap manis!"

Ya, ada sebuah tempat dimana ketika kita bersikap sopan tanpa ada maksud atau tujuan tertentu tetap saja dicap seperti di atas. Efeknya beragam. Yang kuat iman, enggak terpengaruh. Yang baper mungkin berubah jadi cuek, bodo amat, dan malas peduli lagi. Pun ada yang ikut arus, berubah jadi kasar agar tidak dikucilkan. Kamu tim apa? Xixixi.

Ketika pertama kali menginjakkan kaki di Jepang, saya cukup takjub. Meski sudah sering baca kalau warga Jepang secara umum terkenal dengan tata krama dan sopan santunnya yang tinggi, namun akan terasa berbeda rasanya ketika membuktikannya sendiri.

Kata "maaf, terima kasih, dan silakan" seolah memang sudah melekat begitu kuatt dan menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Kagumm. Bukankah memang seharusnya yang kita biasakan itu sesuatu yang baik, ya.

Belum genap dua minggu saya di sini, ketiga jenis kata sakti tersebut sudah sering menghiasi hari-hari.

  • Turun bus, pak sopir bilang terima kasih, bahkan kadang bilang juga hati-hati.
  • Ke konbini, petugasnya salah sedikit, minta maafnya udah segitu bangett.
  • Enggak sengaja nabrak orang, baru juga buka mulut mau minta maaf eh orangnya yang malah minta maaf duluan padahal enggak salah. Kan jadi merasa berdosa. Hehe.
  • Dan, masih banyak lagii.
Di sini, kamu enggak perlu takut dibilang sok imut atau sok manis hanya karena bilang terima kasih atau minta maaf karena memang itu sudah menjadi bagian dari budaya. So inspiring.

Jika kalian heran kenapa orang Jepang secara umum lumrah sekali dengan tiga jenis kata sakti yang susaahh bangett diucapkan orang-orang zaman sekarang, maka saya pun heran. Tapi yang jelass, semakin ke sini dan mengamati keseharian mereka (terutama sopan santunnya) ingatan saya auto ke ajaran agama yang saya anut. Bukankah kita seharusnya memang bersikap baik ke orang lain? Bukankah itu yang dicontohkan Rasulullah?

Info lain saya dapatkan dari buku tentang Jepang yang ditulis Mbak Nurul Asmayani. Dalam buku tersebut Mbak Nurul yang pernah tinggal lama di sini menjelaskan mengapa orang Jepang "suka" minta maaf. Beberapa di antaranya karena mereka begitu menjunjung tinggi keharmonisan, enggak suka konflik, dan mencintai perdamaian. Intinya sih gitu. Makanya, enggak salah pun kadang minta maaf seperti contoh kasus saya di atas.

Terus, ketika orang bersikap sopan, apa lantas kita jadi semena-mena dan menganggap dia cupu? Memang ada yang begini, adaa yang kemudian malah menginjak-injak. Tapi,  fitrah sebagai manusia ketika ada orang bersikap manis, kita pun auto bersikap lebih manis. Rasanya kok jahatt bangett kalau kita udah disapa halus misalnya, tapi kita jawab dengan teriakan. 

Ini yang saya amati di sini. Ketika mereka bersikap sopan, orang lain pun segan dan bersikap sopan juga. Nyalurr, ibaratnya. MasyaaAllah. Sungguh sebuah kebiasaan baik yang menjadi salah satu kunci kesuksesan mereka menurut saya. Karena kalau cuma masalah pintar, di dunia ini melimpah sekali orang jenius. Tapi, respek? Ehm. :)






  • Share:

You Might Also Like

2 comments

Makasih udah ninggalin jejak yang baik ya, Teman-teman! :)