Buku "Catatan Hidup dari Orang Biasa"

By miyosi ariefiansyah (bunda taka) - November 20, 2021

Foto: penerbit.

Terlepas dari setiap karya pasti punya kisah serunya, buku saya yang ke-54 berjudul "Catatan Hidup dari Orang Biasa" ini memiliki beberapa catatan yang buat saya jujur aja tidak biasa. Apa itu?

1. Terbit setelah hampir dua tahun saya vakum menulis buku.

Ya, buku terakhir saya sebelum ini terbit akhir 2019 bertajuk antologi yang saya tulis bersama teman-teman FLP Bekasi. Setelahnya, saya belum menelurkan buku lagi. Saat itu, saya (yang masih tinggal di Tsukuba) lebih menikmati sibuk dengan kegiatan lain. :)

2. Saya susun hanya dalam waktu sehari.

Kenapa saya bilang saya susun? Ya, karena pada kenyataannya tulisan-tulisan ini sudah ada, berserakan di mana-mana. Meskipun saat itu saya tidak menulis buku, tapi bukan berarti berhenti menulis, ya. Buat saya, kegiatan tersebut ibarat nafas yang rasanya sulit untuk dipisahkan selama nyawa masih ada. Begitulah kira-kira. Huehehehe.

3. Saya terbitkan di Penerbit GUEPEDIA yang saat itu sedang promo TERBIT GRATIS hingga akhir November ini.

Teman-teman bisa ngepoin IG-nya kalau ingin mengetahui lebih jauh dan mungkin tertarik untuk menerbitkan naskah di sana.

Seolah semesta mendukung, ketika saya berkeinginan menerbitkan buku solo tahun ini sebagai salah satu langkah bangkit dari hibernasi, entah mengapa saat buka IG, iklan GUEPEDIA tentang terbit gratis ini muncul begitu saja. Jujur, saya belum pernah memiliki pengalaman menerbitkan di sini. Karya-karya saya sebelum ini lebih banyak terbit di penerbit mayor. Namun, setelah saya kepoin IG, website, plus tanya via DM, kesimpulan saya satu: sepertinya boleh juga buat dicoba. :D

Lalu, isi buku ini tentang apa?

Sebenarnya, isinya tentang renungan tentang kehidupan, bisa dibilang random. Saya sendiri membaginya ke dalam tiga bab: random thoughts, mini quotes, dan english notes. Hal-hal yang saya tulis di sini adalah hal-hal sederhana yang kerap kita temui dalam kehidupan sehari-hari atau bahkan pernah kita rasakan.

Mungkin, langsung saja saya beberkan beberapa contohnya, ya.

**

Di bagian awal ada catatan ini:

Pernah nggak sih kita merasa stres atau tidak berguna hanya karena menjadi orang biasa aja entah itu dari segi prestasi, wajah, kekayaan, atau apa pun. Kita B aja gitu atau dengan kata lain rata-rata. Meski hal tersebut mungkin masih lebih mending dibandingkan di bawah rata-rata, tapi sebagai manusia yang punya pride semua orang ingin menjadi luar biasa. Padahal ketika semua orang luar biasa, itu artinya ke-luarbiasa-an akan menjadi biasa saja, bukan. Semua orang mungkin SIAP untuk jadi luar biasa, atau bahkan harus, tapi tidak semua orang siap ketika mereka ternyata hanya menjadi orang biasa-biasa saja sepanjang hidupnya.

Apa indikatornya? Bisa jadiii… stres meningkat, galau menyerang, haus penghormatan walau itu dari lingkup terkecil, dan semacamnya. Jelas, hal ini tidak baik untuk kesehatan jiwa dan kehidupan sehari-hari. Kita jadi tidak bisa menikmati hidup yang sebenarnya sangat indah ini.

Jika buku panduan menjadi orang biasa atau bagaimana menjadi orang luar biasa dalam waktu singkat sudah menjamur yang sometimes membuat kita insecure/makin galau, maka buku ini berusaha untuk realistis bahwa memang tidak semua orang bisa menjadi luar biasa dalam hidupnya. Sebanyak-banyaknya yang luar biasa, masih jauh lebih banyak yang biasa.

Meski demikian, bukan berarti kita tidak perlu berusaha. Justru ini poinnya, jika sudah berusaha sekuat tenaga saja hasilnya belum tentu luar biasa, apalagi jika tidak berusaha. Iya, kan. Buku ini memang dibuat serealistis mungkin agar pembaca tidak terbuai dalam angan karena ini dunia nyata, bukan Drama Korea. Setelah membaca buku ini, pembaca diharapkan bisa menjalani hidup dan takdirnya dengan BERANI dan yang lebih penting lagi BAHAGIA apa pun posisinya. Semoga bermanfaat!

**

Disinggung juga tentang hal yang zaman sekarang sangat mainstream sebagaimana tulisan di bawah ini. 

Ketika merasa insecure dengan prestasi orang lain?

Melihat media sosial stres karena isinya pencapaian teman-teman kita semasa sekolah entah itu karier, finansial, keluarga, bisnis, jalan-jalan ke luar negeri, atau bahkan sekadar aktivitas di komunitas yang membuatnya menjadi orang penting. Kemudian kita melihat diri sendiri seraya berkata, “Kok gini-gini aja, ya!” Kita merasa tidak ada yang bisa dibanggakan.

Masak, enggak bisa. Wajah, biasa aja, dandan juga tidak tertarik. Prestasi, tidak ada yang bisa di-showoff-kan, apa pun terasa biasa aja. Seolah perbedaan dengan teman sekolah kita terasa begitu nyata.

Jujur deh, memang kenapa kalau teman kita lebih sukses? Bukankah kita tidak pernah tahu hari-hari penuh penderitaan yang ia alami? Yang kita tahu hanya yang ia tampilkan, yang disembunyikan seperti bagaimana perjuangannya… kita tidak tahu. Merasa dunia tidak adil? Mungkin benar jika kita melihat hanya dari sisi kita sendiri. Mungkin benar dunia tidak adil jika kita hanya membandingkan yang tidak kita punya dengan yang teman kita punya. Jelas dunia tidak adil.

Tapi, pernahkah kita mencoba untuk berpikir dari sisi yang berbeda. Bagaimana jika kita juga membandingkan apa yang teman kita tidak punya dengan yang kita punya. Bukan untuk ngeles agar kita merasa lebih baik daripada dia, bukan. Tapi setidaknya untuk menyadarkan dia bahwa memang hidup tidak sempurna. Terus, kenapa?

Seorang teman yang merasa stres hanya karena ia menjadi ibu rumah tangga saja. Setiap hari berkutat dengan hal-hal domestik yang tidak terlihat. Ya, siapa juga yang akan memberi penghargaan pada seorang ibu yang berhasil membuat anaknya tidak rewel atau rumahnya bersih. Bukankah semua itu dianggap biasa saja, lebih-lebih dalam budaya masyarakat yang patriarki. B aja gitu. Beda dengan teman-teman seangkatannya yang bisa pamer mendapat award ini itu dan sebagainya. Dia? Berusaha memendam rasa irinya jauh-jauh dan menerima “nasib” yang hanya ibu rumah tangga saja.

Kemudian, dia berdoa agar diberi kesempatan juga untuk berkembang. Dia merasa berhak mendapatkan semua itu karena dulu dia termasuk siswa dan mahasiswa berprestasi. Ia tidak mau kemampuannya terbelenggu dalam tugas-tugas domestik sementara suaminya semakin lama semakin berkibar.

Keinginan tersebut rupanya didengar Sang Pencipta. Suaminya meninggal mendadak yang menyebabkan ia harus menjadi ibu tunggal. Meski harta peninggalan suami sangat cukup untuk hidup, tapi ia merasa harus bekerja agar tidak terus-menerus mengambil uang yang mandeg di tabungan. Tidak butuh waktu lama, ia menempati posisi puncak. Dalam prosesnya, ia tersadar bahwa selama ini ia kurang bersyukur. Sangat. Seolah, doa-doanya dikabulkan untuk membuatnya jera dan tahu bahwa seperti inilah yang dilakukan suaminya sehari-hari. Berangkat menembus macet jalanan dan harus berdamai di jalan SETIAP HARI, di kantor harus menghadapi rekan kerja yang tidak semua menyenangkan ada juga yang cari muka, belum termasuk ketika ia dimarahi tanpa sebab oleh atasan, termasuk saat seluruh pekerjaannya seharian tidak ada harganya karena atasan malah menanyakan hal lain. Banyakk.

Ia baru sadar bahwa di balik gaji tinggi suami selama ini, di balik semua hal yang membuatnya iri, ada kekuatan hati dan mental yang harus dipertaruhkan. Sudah terlambat ketika ia berkata pada diri sendiri merindukan kehidupannya yang dulu dimana sehari-hari bisa bermain dengan anak tanpa harus memikirkan tanggung jawab ke atasan. Sudah tidak ada gunanya ketika ia berkata merindukan hari-harinya sebagai ibu rumah tangga yang mengurusi suami dan anak dimana ia seolah mendapat kekuasaan penuh. Pun sudah tidak ada gunanya ketika ia seharusnya tidak perlu menggubris kata-kata teman-temannya yang bilang enak kamu begini begitu. Semua sudah terlambat karena waktu tidak bisa kembali.

**

Buku ini memang berisi tentang catatan random saya sebagai orang biasa. Menurut saya, tidak perlu jadi seseorang yang dikenal 7 Milyar manusia dulu untuk bisa speakup. Siapa pun boleh, toh setiap orang punya pengalaman masing-masing yang jika dibagi boleh jadi bermanfaat untuk yang lain, setidakny bermanfaat untuk mengingatkan diri sendiri.

Misalnya, tulisan d salah satu bab ini

Buku-buku motivasi yang malah membuat insecure?

Pernah nggak kita justru merasa insecure setelah membaca buku-buku motivasi? Bukannya semangat yang ada malah meratapi nasib sendiri. Kok gini amat ya. Kita merasa sudah berusaha sekuat tenaga tapi ya jadinya gini-gini aja. Kita sudah banyak berkorban tapi enggak bisa wow. Kemudian kita merasa bahwa kita memang pecundang yang tak layak hidup bahagia.

STOP!

Tidak hanya buku-buku motivasi bahkan yang bisa membuat insecure, tapi kisah-kisah orang-orang sukses di sekitar kita yang kadang membuat kita merasa terjustifikasi meski tak diucapkan.

Makanya kalau pengin sukses tuh seperti gue gini loh.

Jauh di dasar hati, kita ingin bilang bahwa kita sudah melakukan banyak hal, tapi ya gimana hasilnya gini. Misal seorang yang kaya raya berkata di depan temannya yang belum kaya bahwa jika ingin banyak uang itu harus berusaha semaksimal mungkin begini begitu yang seolah bilang bahwa temannya yang belum kaya itu pemalas. Padahal, dia tidak tahu seperti apa perjuangan hidup temannya tersebut.

Jujur, kalau boleh berpendapat, aku kurang setuju dengan ungkapan lahir dalam kondisi miskin bukanlah kesalahan kita, tapi meninggal dalam kondisi miskin adalah kesalahan kita. Ehm, rasanya terlalu sempit jika dunia hanya dipandang sebatas pencapaian materi saja. Bukan bermaksud beralasan untuk tidak berusaha, tentu saja bukan, karena toh semua manusia yang masih normal menginginkan kehidupan yang mapan dan aman. Tapi jika indikator kesuksesan hanya dilihat dari sisi tersebut, rasanya kurang fair.

**

Contoh bab berisi quote

Merasa penting meski jadi orang biasa
Menjadi orang biasa bukan berarti kita tidak boleh merasa penting. Malah harus. Merasa penting membuat kita melakukan segala sesuatu dengan sungguh-sungguh. Ini kalau dilihat dari sudut pandang positif, ya.

Fitrah manusia adalah hijrah
Semua manusia fitrahnya adalah ingin menjadi lebih baik daripada sebelumnya. Semua manusia fitrahnya juga ingin keturunannya jadi lebih baik daripada dirinya. Jika dia pernah kecemplung sumur, maka dia berharap keturunannya tidak demikian.

**

Contoh lain tulisan di buku "Catatan Hidup dari Orang Biasa" yang juga berkaitan dengan kondisi zaman sekarang.

Memang kenapa kalau ibu rumah tangga aja?

Menjadi ibu rumah tangga di zaman sekarang ini sibuknya enggak kalah bahkan bisa jauh lebih sibuk dibandingkan pekerja kantoran. Ada yang sibuk dengan bisnisnya, ada yang sibuk dengan pekerjaan freelance-nya, atau sibuk dengan komunitasnya. Pokoknya sibuk!

Tidak ada yang salah, malah bagus, dong. Yang menjadi masalah adalah ketika menganggap ibu rumah tangga yang tidak ikut apa pun alias hanya menjadi ibu rumah tangga murni saja lebih rendah. Atau, merasa minder hanya karena menjadi ibu rumah tangga saja tanpa ikut kegiatan apa pun. Pernah merasa begini? Entah sebagai yang minder atau yang melihat lebih rendah.

Padahal memangnya ya kenapa kalau kita hanya jadi ibu rumah tangga saja tanpa punya media sosial, tanpa berinteraksi di dunia maya, dan benar-benar fokus dengan keluarga. Rasanya tidak ada yang salah. Dan kita pun tidak perlu minder. Ini hanya soal pilihan kok. Mau pilih durian atau rambutan, sesederhana itu.

**

Tulisan lain yang mengajak pembaca agar berdamai dengan ketidaksempurnaan.

Tak harus menjadi sesuatu untuk tampil baik. Meski ketika menjadi "seseorang", peluang untuk memberikan pengaruh ke masyarakat luas sangat besar, tapi bukan berarti kita harus menunggu jadi orang berpengaruh dulu baru berbuat baik. Iya kalau peluang untuk menjadi orang berpengaruh itu besar dan cepat, kalau lama atau bahkan tidak pernah muncul sama sekali, rugi sekali jika hidup kita tidak diisi dengan kebaikan.


Itulah beberapa contoh isi buku ini. ❤️🤗

Buku ini bisa dibeli di GUEPEDIA, TOKOPEDIA, BUKALAPAK, GUEPEDIA STORE, dan FACEBOOK.



  • Share:

You Might Also Like

0 comments

Makasih udah ninggalin jejak yang baik ya, Teman-teman! :)