Pentingnya Peran Keluarga dalam Pembentukan Karakter

By miyosi ariefiansyah (bunda taka) - April 06, 2019


KELUARGA menempati posisi penting dalam proses pembentukan karakter, terutama di masa-masa “lugu”. Kalau udah tua sih enggak ngefek lagi, yaa. Seberapa pun atau seberat apapun masalah di luar sana jika kondisi keluarga stabil (enggak melulu soal uang karena banyak juga kan yang memiliki segalanya tapi rapuh), insya Allah penyimpangan tidak akan terjadi.

Penyimpangan di sini tidak melulu soal L G B T, bukaaan, tidak hanya ituu. Tidak percaya diri, sensitif, pemarah, perilaku destruktif, sampai psikopat adalah beberapa contoh perilaku menyimpang lainnya.

Penerimaan awal hidup seseorang dimulai dari KELUARGA. Ibarat bangunan, KELUARGA adalah pondasi. Jika pondasi kuat, angin ribut dan hujan badai tidak akan bisa mengoyakkan bangunan. Tapi sebaliknya, jika pondasi rapuh, hujan gerimis saja mungkin sudah bisa membuat bangunan tersebut roboh.

Sayangnya, keluarga yang seharusnya menjadi tempat BELAJAR pertama, keluarga yang seharusnya menjadi tempat mengayomi, tempat berlindung, kadang justru menjadi tempat yang paling menakutkan. Diskriminasi, tidak diterima seutuhnya, penganiayaan baik verbal maupun nonverbal, termasuk pertengkaran orangtua adalah beberapa contoh di antaranya.

“Gimana sih gitu aja nggak bisa! Dasar cengeng!!”
“Kalau kakakmu itu bisa!”
“Adikmu lebih pinter!”
“Udahlah, Kamu emang enggak bisa diharapkan!”

Hal-hal seperti contoh di atas bisa membuat seorang anak tidak memiliki kepercayaan diri (bermental rapuh) atau justru sebaliknya saat dewasa. Permusuhan antarsaudara yang berlanjut hingga dewasa pun kadang bermula dari hal-hal yang terlihat sepele, seperti contoh di atas. :)

Ibarat bola salju, luka batin akibat penerimaan negatif yang terus-menerus ketika kecil jika didiamkan, takpernah dibicarakan, takpernah diutarakan, takpernah didiskusikan karena menganggap hal-hal yang berhubungan dengan perasaan adalah hal yang lemah akan berakibat FATAL!!

SYBIL adalah salah satu contohnya

Pernah dengar nama tersebut? Pernah, ya.

Dia adalah sosok yang memiliki belasan kepribadian yang semuanya bermula ketika ia selalu mendapatkan penyiksaan baik fisik maupun verbal dari ibu kandungnya. Ayahnya juga tidak peduli dengan apa yang terjadi pada SYBIL. Dogma-dogma yang ia terima sejak kecil juga menganggap bahwa menceritakan masalah keluarga pada orang yang tepat adalah AIB. Akibatnya, SYBIL kecil yang rapuh hanya bisa menyimpan luka itu sendiri, tidak tahu harus mengadu kepada siapa karena tidak ada yang peduli padanya.

Saya tidak bermaksud membandingkan sebenarnya, tapii bolehlah ya saya “menengok” sebentar kisah Totto Chan. Saat dia dikeluarkan dari sekolah karena perilakunya dianggap aneh oleh sang guru, Mama Totto Chan tidak serta merta menyalahkan anak yang bernama asli Tetsuko Kuroyanagi tersebut. Si Mamah malah berkata kalau Totto Chan akan pindah sekolah ke tempat yang lebih sesuai dengan dirinya, tempat yang lebih menyenangkan.

Mirip dengan Totto Chan, yakni Thomas Alva Edison. Jika semuanya atau hampir semua orang fokus pada kekerenannya si Thomas, maka saya lebih tertarik dengan ibunya Thomas. Konon, dari buku yang pernah saya baca (lupa judulnya karena sudah lama sekali), suatu ketika saat Thomas Alva mengecek kembali barang-barang lamanya, ia menemukan surat dari gurunya. Thomas yang kala itu sudah menjadi ilmuwan terkenal tidak bisa menyimpan kesedihannya. Pasalnya, dalam surat tersebut sang guru bilang bahwa Thomas Alva Edison ini BODOH dan tidak cocok sekolah di tempat anak-anak normal, itu sebabnya si Thomas harus dikeluarkan karena sang guru sudah tidak sanggup lagi mengajar.

Yang membuat Thomas Alva Edison menangis bukan masalah ia disebut BODOH oleh gurunya, bukan ituu. Tapii, sikap ibunyaa yang saat Thomas kecil bertanya apa isi suratnya, sang ibu berkata dengan tenang seolah takterjadi apa-apa. Sang ibu bilang kalau dia terlalu pintar sampai sang guru tidak sanggup mengajar, itu sebabnya Thomas diminta belajar saja di rumah. Dan, dia baru mengetahui kebenarannya setelah sang ibu meninggal dan ia sudah menjadi “seseorang”. :)

KELUARGA tidak hanya pelengkap atau alat pamer, “Eh, aku sudah punya istri/suami/anak, dong”, tapi keluarga benar-benar adalah TEMPAT PERTAMA pembentuk peradaban.

**

Daftar Pustaka:

Murtie, Afin. 2014. Soul Detox. Yogyakarta: Scritto Books Publisher.



Tulisan di atas adalah tulisan saya di ummionline

  • Share:

You Might Also Like

1 comments

  1. So pasti itu sangat penting buat membentuk karakter seorang anak

    ReplyDelete

Makasih udah ninggalin jejak yang baik ya, Teman-teman! :)