Hari ke-384 di Jepang: Sopir Bus Stasiun Oishida - Ginzan Onsen Mengingatkanku pada Bapakku

By miyosi ariefiansyah (bunda taka) - January 18, 2021

 


"Indoneshia?" tanya Pak Sopir Bus Stasiun Oishida - Ginzan Onsen kepadaku sumringah.

Bertemu dengan orang Jepang yang sopan sekaligus ramah sebenarnya bukanlah hal aneh selama aku tinggal di Negeri Sakura, namun kali ini berbeda. Ada yang membuat hatiku "bergetar" atau kalau kata orang Jawa makdeg. Bukan lantaran bapaknya mirip Le Min Ho, tapi karena "penampakan" beliau plus karakternya mengingatkan diri ini pada sosok... BAPAK! 

Ya, sopir bus stasiun Oishida - Ginzan Onsen mengingatkanku pada bapakku. Usia yang kutaksir tidak jauh beda, keramahan, perhatian, serta celetukan-cetelukan lucu adalah beberapa di antaranya.

Bapakku kerap bertanya kepada orang baru, termasuk anak muda. Bukan tanya kepo, tapi bentuk perhatian. Bapak juga suka memberi cuma-cuma durian yang baru beliau dapatkan dari kebun. Ya, bapakku memang suka berkebun di usia beliau yang sudah 70 tahun lebih. Untuk refreshing dan olahraga, kata beliau.

Pak sopir bus stasiun Oishida - Ginzan Onsen pun. Beliau nanya dari mana, tinggal di mana, anaknya (Taka, maksudnya) usia berapa, bisa bahasa Jepang apa tidak, dan semacamnya. Sebagai orang asing yang sedang mengeksplorasi salah satu hidden gems di sini, kami jadi enggak merasa terasing. 

Perjalanan selama kurang lebih satu jam ke tempat tersembunyi jadi terasa menyenangkan karena si bapak ramah. 

"Lihat, yukinya indah, kan?" tanya beliau.

"Iya, saljunya bagus bangett," jawab suamiku.

Ada beberapa hal yang membuat hatiku tersentuh dan langsung teringat bapakku. Kalau dirangkum ke dalam poin-poin kira-kira seperti di bawah ini.

1. Bapak sopir menikmati pekerjaannya. Kami bisa merasakan bangett auranya. Aku jadi teringat bapakku yang juga sangat suka berkebun untuk mengisi masa tua. Kata beliau kalau enggak melakukan apa-apa malah stres. 

2. Meski saat berangkat jumlah penumpang sangat bisa dihitung dengan jari, tapi beliau tetap menjalankan tugasnya dengan baikk. Enggak mentang-mentang penumpang hanya kami saja orang asing lagi, terus beliau seenaknya sendiri. Sama sekali tidak. Aku jadi teringat bapakku yang juga sangat semangat berkebun meski kadang/bahkan sering hasilnya tak sesuai harapan. Hidup bukan tentang hasil, tapi proses, bukan. Hal itulah yang membedakan kita dengan makhluk hidup lainnya. Kata Buya Hamka kalau hidup hanya sekadar untuk cari makan, babi hutan juga melakukannya.

3. Memberi tumpangan gratis ke nenek-nenek dan anak sekolah. 

4. Beliau adalah satu-satunya sopir bus jurusan Oishida - Ginzan Onsen PP, tidak ada pengganti. Setidaknya, yang aku lihat hari itu memang demikian. Mungkin karena tempatnya cukup jauhh dan kurang dikenal turis internasional secara umum kecuali yang benar-benar cinta Jepang, sehingga moda transportasinya pun enggak banyak. Sistem pembayarannya juga enggak menggunakan IC Card melainkan tunai.

5. Saat perjalanan pulang dari Ginzan Onsen ke Oishida, aku bareng dua orang lainnya. Mereka bayar pakai uang dengan nominal besar. Sedihnya, si Bapak sopir enggak punya kembalian. Kami sempat menawarkan pakai uang kami dulu untuk mbayarin dua mbak-mbak tadi, tapi si Bapak enggak mau karena sungkan. Akhirnya, si Bapak sopir bilang ke mbak-mbaknya kalau bayarnya nanti dulu aja kalau udah sampai di tujuan. 

"Mas, aku kok masih kepikiran bapak sopir Oishida - Ginzan Onsen, ya. Orangnya udah punya cucu kali, ya? Anaknya ke mana, ya?" tanyaku pada suami saat kami meninggalkan Yamagata menuju Fukushima yang dia sendiri juga tidak tahu jawabannya. 

Di dunia ini, ada banyak yang datang dan pergi. Tapi, hanya sedikit yang menancap di hati. Begitulah. Sopir bus Stasiun Oishida - Ginzan Onsen yang mengingatkanku pada bapakku adalah salah satunya. 



  • Share:

You Might Also Like

0 comments

Makasih udah ninggalin jejak yang baik ya, Teman-teman! :)