Beralih Menerbitkan Buku dalam Bentuk Digital adalah Caraku sebagai Penulis untuk Menjaga Bumi

By miyosi ariefiansyah (bunda taka) - December 01, 2022

Menikmati buku fisik memang lebih terasa vibes-nya. Namun, perasaan bersalah kerap hadir ketika ingat kalau hal tersebut membutuhkan pengorbanan luar biasa. Buatku, jika ternyata ada substitusinya, kenapa tidak dicoba saja?

Tak bisa dimungkiri jika buku fisik memiliki daya pikat tersendiri. Aroma kertasnya yang khas, sentuhan personal, serta mampu membantu pembaca untuk bisa fokus (tak mudah terdistraksi) adalah beberapa di antaranya. Dari sisi penulis, buku fisik adalah bukti autentik bahwa dirinya berkarya. Konon, ada sebuah kelakar, seseorang belum resmi disebut penulis jika dia belum bisa menerbitkan buku secara fisik.

            Aku jadi teringat bagaimana euforia saat pertama kali melihat namaku terpampang di toko buku belasan tahun yang lalu. Mimpi itu akhirnya jadi kenyataan. Begitulah kataku saat itu. Tidak puas dengan debut pertama berupa antologi, aku mencoba merambah ke karya duo dan solo. Aku semakin rajin menulis dan mengirimkannya ke penerbit. Tak selalu berhasil memang. Tak sedikit juga penolakan dari mereka. Namun, tak bisa disangkal juga bahwa keaktifanku membuka banyak peluang mulai dari tawaran untuk menulis buku pengayaan untuk siswa SD dan SMP, dipercaya untuk membuat buku kumpulan soal bersama tim, sempat “mencicipi” peran sebagai co-writer & ghost writer, dan masih banyak lagi.

Ada kebahagiaan batin yang tak bisa kujelaskan ketika melihat namaku ada di rak “khusus” toko buku entah itu rak buku rekomendasi, buku laris, atau referensi. Apalagi, saat mendapat feedback positif dari pembaca. Aku jadi merasa bersyukur dan terharu karena bisa bermanfaat untuk sekitar melalui buku-buku yang kutulis.

Beberapa bukuku yang masuk rak “khusus”, dokpri.

            “Titik balik”, jika boleh kukatakan demikian, terjadi saat aku hamil 2016 silam. Aku harus “auto” beradaptasi dengan kondisi. Terlebih, kami baru diberi momongan setelah hampir 10 tahun menikah. Aku yang tadinya sangat aktif mengikuti beragam proyek menulis (dengan deadline super ketat) memilih untuk menjadi kontributor lepas majalah digital yang sifatnya lebih bebas dan tak terlalu membebani pikiran.

            Konon, ibu hamil itu sangat sensitif. Pun aku. Memikirkan hal yang sebelumnya hanya menjadi wacana atau lewat sekelebatan saja adalah bukti konkretnya. Tak sekali dua kali aku bertanya pada diri sendiri saat membuat tulisan untuk majalah digital, “Bagaimana ya nasib buku-buku yang tidak laku selain diobral atau disumbangkan?” Dengan kebiasaan membaca masyarakat Indonesia yang masih tergolong rendah menurut PISA, apa kita yakin bahwa semua buku yang sudah terbit mampu terserap dengan sempurna di pasaran? Sedangkan saat aku mengirim buku ke penerbit saja mereka kerap bertanya seperti apa peluang pasar buku yang sedang kutawarkan. Maksudnya, adakah peluang untuk diminati dan dikerubuti pembaca? Artinya, jangan sampai menerbitkan buku yang hanya berakhir sia-sia, bukan.

            Sementara itu, kita semua pasti sadar jika bahan baku buku adalah kayu yang notabene jumlahnya terus menipis sebagaimana dilaporkan situs BPS. Untuk menghasilkan kertas, tak sembarangan pohon bisa digunakan. Ia harus berusia minimal 5 tahun. Mengutip dari situs dpmg.bandaacehkota.go.id, 1 batang pohon kayu normalnya bisa menghasilkan 16 rim kertas.  Di saat yang sama, 1 batang pohon menghasilkan oksigen yang cukup untuk 3 orang. Dengan kata lain, ada tiga kehidupan yang harus “dikorbankan” untuk memproduksi 16 rim kertas. Bila pun ada program penggalakkan sejuta pohon, semua terasa tak berarti jika tak didukung dengan penggunaan kayu secara tepat dan bijak. Apalagi, butuh waktu yang tidak sebentar untuk tumbuh menjadi pohon yang kokoh, bukan. Tak bisa sim salabim abracadabra. Menanam hari ini, besok langsung membesar siap digunakan. Tidak seperti itu pastinya.

            Masih dari sumber yang sama, fakta lain yang cukup mencengangkan adalah 1 ton kertas yang diproduksi setara dengan emisi gas buang mobil selama 6 bulan atau sebanyak 2,6 ton karbondioksida. Lebih parahnya lagi, jika kertas tersebut kemudian membusuk atau menjadi kompos, maka ia bisa menghasilkan gas metana yang notabene lebih berbahaya daripada karbondioksida. Tentu hal ini tak bisa dianggap sepele. Alih-alih ingin bermanfaat dengan menulis buku (fisik), yang ada malah sebaliknya. Inilah yang ada dalam pikiranku saat ini.

            Lalu, langkah nyata apa yang bisa kulakukan sebagai penulis untuk “menyelamatkan” bumi? Beralih ke media dan buku digital adalah jawabannya! Meskipun kadang-kadang aku masih membeli dan menerbitkan buku fisik, namun intensitasnya sudah tak lagi seperti dulu.

            Tak hanya berlaku untuk diri sendiri, aku pun mulai “mengkampanyekan” manfaat buku digital di situs pribadiku. Berharap, orang-orang sekitarku bisa terpengaruh.

Ulasan di blog-ku tentang salah satu platform digital dan manfaat buku digital yang alhamdulillah mendapatkan respon positif dari pembaca.

Beberapa karyaku dalam bentuk digital, dokpri.

            Katanya, banyak jalan menuju Roma. Banyak cara merawat bumi sebagai tempat tinggal kita. Beralih menerbitkan buku dalam bentuk digital (e-book) adalah salah satunya.

  • Share:

You Might Also Like

19 comments

  1. Sepakat, baru terpikir jauh tentang hal ini setelah membaca ulasan mbak Miyosi. Hanya saja memang bagi sebagian orang aroma buku fisik ibarat candu yang menenangkan (termasuk saya). Sementara untuk membiasakan habit baca e-book butuh effort yang luar biasa, apa mungkin karena belum terbiasa kali ya...

    ReplyDelete
  2. MasyaAllah karyanya banyaknya, Mbak. Jujur sih Mbak aku memang gak nyaman saat baca buku digital, entah kenapa kalau baca buku baru, awalnya menghirup bau khasnya dulu bikin happy apalagi setelah baca isinya yang aku banget, tambah happy donk.

    Gak memungkiri memang kertas yang menjadi bahan baku pembuatan buku menjadi penyumbang rusaknya bumi juga ya, Mbak. Okelah, perlahan lahan membiasakan sepertinya untuk membaca ebook. Thankiss mbak remindernya

    ReplyDelete
  3. Ebook memang praktis, tapi ada kekurangannya. Terlalu lama membacanya akan membuat mata perih. Namun, kalau ditanya upaya penyelamatan hutan, ebook memang solusi yang tepat.

    ReplyDelete
  4. Nah ini dia solusi yg jituuu bgt.
    Karena memang setiap orang kudu berkontribusi demi planet Bumi yg makin nyaman dihuni yaaaa

    ReplyDelete
  5. Tapi kadang buku digital bagi sebagai orang kurang tertarik karena efek screen time. Saya pribadi lebih suka fisik daripada digital

    ReplyDelete
  6. Maa shaa Allah banyak banget karya bukunya mba, keren
    Dan semakin keren pula mbaa karena mbaa memilih buku digital dengan tetap terus berbagi
    Menyelamatkan bumi dan seisinya pula. Hebat!

    ReplyDelete
  7. Wah aku ngalami ini Mbak. Buku pertamaku ada yang belum laku dan sampai hari ini cuma mojok di sudut kamar.

    ReplyDelete
  8. beralih ke digital masih setengah hati nih saya. Satu sisi mendapat kenyamanan baca buku fisik namun disisi lain, buku fisik jg membuat bumi makin tak imbang 😔 btw, Barak Allah karya-karyanya mbaa.. keren euy

    ReplyDelete
  9. Bener juga yaa mbaa.. aku juga sekarang kurang2in beli buku fisik, bacanya pake langganan buku digital di gramdic gituu.. cuman dulunya ya karenaa rak buku udah ngga muat hahaha. skrg mah emang perlu banget dikurang2in

    ReplyDelete
  10. Boleh dicoba tuh mba. Kalau boleh tahu referensi menerbitkan buku digital dimana ya?

    ReplyDelete
  11. Betul banget mba, karena dengan mencetak buku artinya kita sudah mengkonsumsi jutaan pohon untuk kertas yang kita gunakan ya, namun penggunaan buku cetak juga selama itu memberi manfaat yang berimbang dan justru menumbuhkan kecintaan kita pada alam sehingga berusaha menjaganya itu tidak masalah. namun dengan membuatnya secara digital menjadi salah satu solusi terbaik yang bisa kita pilih juga.

    ReplyDelete
  12. jujurly sebenarnya masih suka buku fisik sih, karena kendala di mata, kalau baca di PC atau HP kelamaan mudah lelah, tapi sekarang sudah mulai menikmati e-book
    btw kalau menerbitkan e-book, lewat penerbit atau buat sendiri mbak? karena ada beberapa aplikasi yang bisa digunakan untuk membuat e-book

    ReplyDelete
  13. Iya benar mbak
    Sekarang dunia digital
    Makanya orang juga beralih ke buku digital ya
    Keren mbak sudah memulai

    ReplyDelete
  14. Buku adik saya yabg terakhir jugadi publikasikan ulang dalam bentuk digital. Mencintai bumi memang banyak caranya ya, termasuk ini mengurangi penggunaan kertas

    ReplyDelete
  15. Aku sudah menggunakan buku digital sejak iPusnas launch dan Gramedia Digital. Rasanya sudah 4 tahun ini, karena dulu namanya SCOOP dan hanya bisa mengakses novel. Kini koleksinya semakin banyak dan bisa diakses 5 gadget, sehingga lebih terjangkau jika berlangganan bareng sahabat.

    Selamat membaca.

    ReplyDelete
  16. Haiii mbak apa kabar... Bener banget nih Aku sekarang malah ketagihan baca novel digital. Dulunya Karena langganan di G patungan sama 4 teman. Kog seru berasa punya perpus dengan koleksi buku apa saja ada hehehe

    ReplyDelete
  17. Jujur mba...saya belum bisa move on dari buku fisik. Jadi mikir setelah baca ulasan ini harus segera pindah ke digital

    ReplyDelete
  18. Sekarang buku fisik juga sudah ada ebook nya mbak. Jadi penasaran kalau terbit dalam bentuk ebook saja apakah kerja sama dg penerbit mayor atau bagaimana? Atau menerbitkan sendiri dalam bentuk pdf?

    ReplyDelete
  19. lagi kekinian ya ebook ini karena semua sudah jamannya serbaa digital

    ReplyDelete

Makasih udah ninggalin jejak yang baik ya, Teman-teman! :)