Puasa Pertama Tanpa Bapak

By miyosi ariefiansyah (bunda taka) - April 02, 2022



Akhirnya, aku mengalami juga yang teman-temanku alami lebih dulu: puasa pertama tanpa bapak. Ya, mau tidak mau, suka atau tidak, semua orang pasti mengalami ini, bukan. 

Jujur, rasanya masih tak percaya. Tahun lalu, aku bisa puasa di kampung halaman setelah kembali dari Jepang. Itu artinya, aku masih bisa berbuka puasa dengan bapakku. Dua tahun sebelumnya, 2020 tepatnya, aku pun masih bisa video call meskipun kami terpisah jarak Batu - Tsukuba. 2019, 2018, & 2017, aku bahkan bisa sahur dan buka puasa bersama bapak. 2016, 2015, & 2014, setidaknya masih sering nelpon meskipun terbentang jarak antara Batu - Balikpapan. 2013, aku bisa sahur dan buka bareng bapak. 2012, 2011, 2010, & 2009, tak bisa buka atau sahur bareng tapi masih bisa dengar suara beliau melalui telepon. Apalah arti jarak Batu - Cikarang Pusat. 2008 - aku baru lahir, jelas aku bisa puasa bareng bapak.

Ketika menengok ke belakang, ternyata waktu terasa berlari (bukan berjalan). Cepatt sekalii, tak bisa dikejar. Tapi ketika melihat ke depan, seolah semua masih di awang-awang. Kita hanya bisa memprediksi, bukan memastikan. Sedetik ke depan saja tak tahu nasib kita bagaimana. Maka benar ya kata orang bijak hiduplah sungguh-sungguh hari ini & berikan yang terbaik yang kamu bisa. 

Sejauh-jauhnya orang LDM atau LDR, selama masih hidup dan tinggal di planet yang sama, insyaallah kesempatan bertemu secara nyata itu ada. Tapi kalau sudah beda dimensi seperti ini? Ya, nanti memang bertemu lagi kata Allah. Tapi, bahkan nalar kita saja belum sampai seperti apa nanti bentuk pertemuannya karena tak ada satu pun manusia hidup yang tahu/mengalami. Meskipun kita semua mengimani apa yang sudah ditulis dalam kitab suci dan hadits pastinya. Tapi, untuk membayangkan nanti gimana bentuknya/modelnya saja bahkan nalar dan logika kita tak bisa menjangkaunya. 

Sementara kalau "hanya" keinginan dunia, kita masih bisa membayangkannya lebih dulu dengan melihat YouTube/yang berkaitan. Seseorang ingin ke Jepang misalny. Untuk bisa membayangkan bentuknya Jepang dan melihat secara "nyata", orang tsb bisa menontonnya di YouTube, Google, Instagram, dan semacamnya. Sehingga dia benar-benar punya bayangan, "Oh, bentuknya Tokyo Skytree itu begini, Oh Akihabara itu begitu, dll," Tapi ketika dimensi sudah beda? Hanya iman yang bisa menjawab ketika nalar tak sanggup menjelaskan.

Sekarang aku paham dengan kalimat kehilangan ayah/bapak bagi anak perempuan adalah patah hati yang sebenar-benarnya. Meskipun aku bersyukur dikirimi Allah suami yang sangat baik. Tapi, cinta ke suami dengan cinta ke bapak pasti beda. Sebagaimana cinta anak laki-laki ke istri dan ibunya. Pastinya tak sama.

Bapak suka membaca. Bapak suka menulis. Bapak suka berdiskusi. Bapak pendengar yang baik. Bapak benar-benar melindungi anak-anak perempuannya, misal larangan untuk pacaran (meskipun aku melanggar). Intinya, aku bersaksi bapak udah sedemikian rupa menjaga anak-anak perempuannya sebagaimana yang diperintahkan Allah.

Kini, ketika beliau tak ada, dan aku merasa ada lubang di hati, rasanya manusiawi, ya. Bukan karena tak ikhlas, tapi rindu benar-benar tak bisa diajak kompromi. Kalau kasih tak sampai, setidakny kita masih bisa lihat orangnya meskipun dari jauh. Tapi ini, wujud orangnya tak ada karena sudah berada di dua dunia yang berbeda. Bukan bermaksud "adu nasib". Hanya, tak bisa dimungkiri bahwa kita kadang butuh contoh dengan membandingkan (tanpa bermaksud merendahkan atau meninggikan) untuk bisa menggambarkan kondisinya seperti apa.

Pada akhirnya, kata-kata "kita semua akan kembali kepada Allah" bukan sekadar retorika saja, tapi memang benar-benar pengingat. Sungguh, kematian adalah pemutus. Ya, meskipun kita masih bisa "berkomunikasi" dengan orang-orang yang kita sayang yang sudah meninggal melalui doa, tapi tetap saja jauhhh di lubukk hati terdaalaamm semacam terselip kalimat, "Kondisi sudah beda, orang yang kita sayang sudah tak ada,"

Bapak, semoga Allah melapangkan kuburmu. Doa kami selalu untukmu. 

Dari Allah, untuk Allah, kembali ke Allah.

Sesungguhnya kita memang hanya dititipi, jadi enggak boleh posesif, ya. 

Semoga kita bisa menjalani hari-hari dengan penuh semangat, termasuk saat bulan puasa seperti sekarang. Semoga kita nanti bisa berkumpul lagi dengan orang-orang yang kita sayangi.

Jaga keluarga kita, ya. Amanah dari-Nya.


(Catatan rindu sembari menunggu suami selesai acara @ suatu tempat di Manado)

  • Share:

You Might Also Like

0 comments

Makasih udah ninggalin jejak yang baik ya, Teman-teman! :)